📅 26 Juli 2022
Ederlick Residence 56Hari ini Liam mengantarku pulang setelah 5 hari aku dirawat di rumah sakit. Teresa yang selama ini menjagaku, karena Liam harus mengurus pemakaman istrinya. Liam yang berbincang banyak dengan dr. Andrea, ternyata mereka saling mengenal. Liam adalah adik tingkatnya saat di fakultas kedokteran. Liam sendiri tidak bisa menemaniku, dia hanya mengantarku dan memastikan aku baik-baik saja, mendiang istrinya harus segera dimakamkan. Ya istrinya meninggal akibat kecelakaan itu dan dia harus mengirim jasad istrinya ke US.
Tapi, hari ini Liam baru saja kembali dari sana, seharusnya Teresa yang mengantarku pulang. Tapi dia tiba-tiba apa pekerjaan penting. Jadilah aku disini bersama Liam. Canggung dan hening.
"Apa sudah terasa lebih baik?" suara berat Liam memecah keheningan di mobil ini.
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Liam seraya mengelus perut buncitku. Dokter bilang kejadian kemarin karena tubuhku yang dipaksakan. Dia menyarankanku bersiap karena mungkin kontraksi palsu seperti beberapa hari belakangan ini aku rasakan akan semakin sering. Perdarahan kemarin berhasil diatasi dengan mudah oleh dokter. Hanya saja tubuhku terasa lemah, sekarang sudah cukup membaik.
"Sudah sampai, Senna."
Benar saja, syukur perjalanannya tidak lama. Benar-benar canggung kami. Liam turun lebih dahulu lalu membukakan pintu. Entah mengapa jantungku masih berdebar saat menatapnya lama, apa karena terlalu canggung? Sial, padahal aku membencinya.
"Mampirlah, istirahat sebentar di dalam, Teresa bilang kau baru balik dari US."
"Baiklah"Astaga, tidak kusangka Liam mengiyakan basa-basiku. Pasti akan terasa makin canggung.
"Istirahatlah disini dulu, biar kubuatkan sesuatu."
Aku meninggalkan Liam di ruangan tamu lalu beranjak ke dapur untuk memasakkan makanan kesukaannya. Dulu dia sangat suka dengan spagetti buatanku. Kebetulan di dapur tersedia bahan lengkap.
"Silahkan. Maaf lama, gerakanku tidak selincah dulu, perutku sudah terlalu buncit" ucapku setelah meletakkan sepiring spagetti di meja.
"Ini?"
"Iya, kau pasti rindu dengan rasanya."
"Sudah lama sekali aku tidak merasakan ini. Terakhir kali saat acara Hallowen tahun lalu, Senna."Benar sekali itu terakhir kali kami melakukan perjalanan romantis sebagai pasangan kekasih, karena selebihnya Liam sudah sulit aku temui. Bahkan di malam natal, setelah menyetubuhiku dia pergi begitu saja, padahal kami baru menghabiskan waktu bersama selama 5 jam.
"Dokter bilang itu kembar, usianya 38 minggu, kau tahu itu?" Liam melirik ke arah perut buncitku.
38 minggu? Aku bahkan tidak mengingat betul usia kandunganku, aku meminta dr. Andrea untuk tidak membahas itu setiap kali John mengantarku ke klinik. Ah sudahlah, akhirnya aku hanya mengangguk sembari mengusap perut buncitku dengan lembut. Tapi tiba-tiba ada tangan lain ikut mengusap, itu tangan Liam. Sontak aku menoleh dan menatap bingung wajahnya.
"Kenapa? Ada yang salah? Aku hanya ingin menyapa bayi-bayiku."
Aku beranjak dari dudukku dan berdiri tepat dihadapan Liam yang memasang wajah kecewa karena tindakanku barusan.
"Sekarang kau mengakui bayi ini anakmu? Kau tidak punya hak, kau bukan siapa-siapa. " ucapku sambil terus mengelus perut buncitku, bayiku bergerak gelisah di dalam.
"Dia memang anakku, Senna. Darahku mengalir di darahnya, itu faktanya." Liam berdiri dan meraih tanganku kemudian memelukku erat.
"Yaaaa! Liam lepaskan!" aku berusaha berontak tapi sepertinya kekuatan Liam bukan tandinganku.
"Aku tahu betul, bulan November, pasti spermaku berhail membuahimu saat itu, dari usia kandunganmu, kau tidak bisa mengelak, Senna.", Liam berbisik lalu kembali menatapku setelah menyelesaikan ucapannya.
Liam mencium bibirku dengan kasar dan melumatnya, tubuhku didorong hingga terjatuh kembali di atas sofa. Liam masih sama, semuanya, gairah seksualnya masih tinggi. Tangannya membuka kardiganku sementara tangan lainnya menahan kedua tanganku. Kekuatannya benar-benar membuatku tidak bisa berkutik.
"Mmhhh Liammhh hentikannhhh...Liammhh kumohonnhh mmpphhh.." Liam melumat bibirku dengan sangat bernafsu.
Tangan Liam meremas kuat payudaraku, rasanya ngilu sekali, dia benar-benar seperti kesetanan. Padahal aku tidak mengatakan hal yang menyinggungnya. Aku benar-benar berusaha tidak memancingnya. Tapi jujur, aku tidak bisa menahan desahanku, aku juga menikmatinya.
Liam melepaskan ciuman di bibirku dan menurunkan resleting celananya, mengeluarkan kemaluannya yang sudah cukup menegang. Apa dia tergoda olehku? Aku bahkan tidak melakukan apapun sedari tadi.
"Liam kumohon, sadarlah. Kau bukan lagi pa..mmhhh.."
Liam kembali membungkam mulutku, kini dia menggesekkan juga kemaluannya di permukaan cdku, membuatku bergerak gelisah. Setelah menarik permukaan cdku ke samping, Liam menghentakkan pinggulnya dan melesakkan kemaluannya ke dalam milikku.
"Mmmhh..mmpphhhh!"
Perih sekali, milik Liam memang lebih besar dari milik John. Tapi setelah keseluruhannya masuk dan dia mulai bergerak cepat, aku justru mulai menikmati permainannya. Liam tidak tahu tempat, dia mensetubuhiku di atas sofa, sama sekali tidak nyaman untuk ibu hamil dengan perut sangat buncit sepertiku.
Liam sadar aku mulai melunak dan akhirnya melepaskan tautan bibirnya dan genggaman tangannya di kedua tanganku.
"Ssshh mhhh aahhhh.."
"Lagi ghhh lebih dalamm nnhhh.."Liam tersenyum dan kemudian berbisik pelan di telingaku.
"Kau masih menikmatinya, Senna. Kau masih menginginkanku."
Entah apa yang membuatku terjerat, aku hanya mengangguk dan menarik tubuhnya mendekat lalu melumat bibirnya. Entah pengaruh hormon kehamilanku atau memang keinginanku.
Liam membuatku mendapatkan orgasme keduaku, sementara dia sudah menumpahkan spermanya di dalam sana dan masih terus menggenjot tubuhku. Liam benar-benar lepas kendali, dia menghimpitku, membuat perutku terasa begitu nyeri, tapi tersamar dengan nikmatnya permainan Liam.
Kami bahkan tidak sadar jika ini masih di ruang tamu rumah John. Liam lalu menggendongku ke kamar mandi dan menyalakan shower hingga membasahi seluruh pakaian yang kukenakan.
"Wait..tunggu Liam, aaahh shhh..sakit hhmmpp" ucapku menahan rasa nyeri yang tiba-tiba datang.
Otot perutku serasa ditarik, bagian pinggul hingga perut bagian bawahku ngilu dan menegang. Permukaan perutku terlihat tegang. Liam hanya tersenyum dan meletakkan tangannya di atas perut buncitku. Liam mengelusnya perlahan, mengetuk sisi kanan perut buncitku hingga terasa tendangan cukup kuat disana.
"Aaaghhhh..sshhh.."
Bersamaan dengan itu, tangannya mengangkat sebelah kakiku dan tangan lain masuk ke lubang kemaluanku. Dia kembali tersenyum, sementara aku masih merasakan sakitnya. Sakit di kemaluanku, sakit juga sekitar otot perutku. Sial, kurang Liam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hamil (Baby L)
Lãng mạnWARNING 🔞⚠️ Follow dan Vote sebelum membaca. Beberapa bab dengan rate dewasa akan diprivate setelah bab 13. Selamat membaca Aku Hamil (Baby L). [DILARANG COPAS] [NO PLAGIARISM] Senna baru saja putus dari Liam, lalu bertemu John saat pesta tahun...