📅 20 Juli 2022
Kitchen's RoomHari ini John berangkat lebih pagi. Seharusnya dia berangkat kemarin lusa, hanya saja karena keadaanku setelah sesi foto sedikit drop dan dr. Andrea memintaku untuk istirahat penuh sehari, John menunda pekerjaannya. Hari ini dia baru bisa mengatur ulang jadwalnya, ada agenda di luar kota selama satu minggu. Ya aku akan di rumah sebesar ini sendirian selama satu minggu. Tadinya aku ingin mengajak Terresa, temanku untuk menginap bersama. Tapi aku urungkan karena malas saja, sepertinya lebih baik sendiri.
"Ssshh..ahhh.", desisku pelan dan melepaskan sendok sayur yang kupegang.
Perutku terasa kencang, tendangan bayi-bayiku terasa sangat aktif, entah apa penyebabnya, mungkin karena aku masih butuh istirahat penuh. Kuputuskan untuk duduk dan mengelus perut buncitku. Kuangkat kaos yang kukenakan dan terlihat jelas perutku yang tegang. Aku pernah membaca tentang kontraksi palsu, apa ini ya? Sebaiknya besok aku bertemu dr. Andrea lagi. Banyak hal yang ingin kutanyakan.
Kuatur nafas perlahan sambil kembali beraktifitas. Biasanya akan lebih nyaman seperti itu. Aku memilih keluar untuk berjalan mengelilingi komplek perumahan John ini. Memang sepi, jadi nyaman untuk berjalan santai.
"Senna, berjanjilah untuk percaya padaku."
Aku teringat ucapan John semalam saat kami melakukan hubungan badan. Entah apa yang membuatnya mengatakan itu padaku di sela aktivitas seks kami. Aku sempat kaget tapi terlalu takut untuk bertanya.
Bicara soal seks. John dan aku sering sekali melakukannya sejak kami tinggal bersama, hampir setiap hari. Aku jadi takut akan rindu di tengah-tengah dan merengek pada John untuk lekas pulang. Padahal setiap kali selesai berhubungan badan semua tubuhku akan sangat pegal dan beberapa kali juga kram perutku terasa cukup lama.
"Benar-benar bernafsu ibu hamil ini." gumamku pelan.
Sudah hampir setengah jam aku berjalan dan cukup menghasilkan keringat juga. Kuputuskan pulang dan berendam, pinggangku terasa masih pegal. Perut buncitku terasa sudah cukup berat, sesekali bahkan terasa sesak.
"Drrt ddrrt"
Suara ponselku membuyarkan lamunanku di bathup. Terresa meneleponku. Ada apa, bukankah sudah kusampaikan perihal rencana yang tidak jadi dilakukan?
"Ada apa Terresa? Aku sedang di kamar.."
"Liam kecelakaan, mobilnya terbakar Senna."Teresa memotong ucapanku dengan kabar yang jujur membuat jantungku langsung berdegub kencang. Liam?
"Bukan urusanku Teresa." ucapku singkat sembari bangkit dari bathup dan mengambil handuk untuk mengeringkan badanku.
"Tapi Senna.."
"Itu urusan Liam, bukan urusanku."
"Senna, dia di bawa ke Rumah Sakit Dusseldorf, dekat dengan rumah John."
"Lalu?"
"Terserah kau Senna setidaknya kita teman, Liam temanku juga, aku akan kesana untuk mengetahui keadaannya."Teresa menutup telepon dengan nada sedikit kesal. Aku memang terlalu kasar menanggapinya, tapi jujur aku sudah tidak ingin mendengar tentang Liam.
"Aahhh, sshhh.."
Tendangan cukup keras terasa di bagian kiri perut buncitku. Dua kali, di sebelah kanan juga ada. Astaga bayi bayiku lincah sekali.
"Ada apa? Dia bukan ayahmu."
Aku berjalan menuju kamar lalu mengganti pakaianku dan mengirimkan pesan pada Teresa. Aku benar-benar merasa bersalah, padahal niat dia baik, hanya untuk memberiku kabar.
"Teresa aku minta maaf, aku tidak bermaksud begitu, terima kasih informasinya."
1 menit
2 menit
5 menit
10 menitDia tidak membalas.
"Ah, mungkin saja dia ada di jalan, tapi apa kondisi Liam baik-baik saja? Apa kecelakaannya benar-benar parah? Apa aku harus kesana"
Aku bermonolog dan mengucapkan semua kemungkinan yang terjadi hingga akhirnya kuputuskan mengambil kunci mobil dan pergi ke Rumah Sakit Dusseldorf.
📅 20 Juli 2022
Rumah Sakit DusseldorfBenar kata Teresa, aku hanya mengemudi 5 menit dan kini telah berada di ruang receptionis. Ternyata ada rumah sakit sebesar ini di dekat rumah John. Tapi aku lebih nyaman dengan klinik milik dr. Andrea.
"Pasien kecelakaan mobil yang baru saja masuk."
Kulihat petugas dibalik meja sedang mengetikkan sesuatu dan kemudian mengambil salah satu berkas untuk kemudian dicocokkan. Aku juga sekalian mengirimkan pesan kepada Teresa untuk mengabarkan keberadaanku di Rumah Sakit ini. Rumah Teresa kesini sepertinya lumayan jauh.
"Mr. Liam. Mobil yang terbakar tadi? Jasadnya di ruang mayat. Silahkan lurus lalu belok kanan di depan, Nona."
Jasad? Aku sempat terdiam sejenak lalu seorang pengantri di belakangku. Aku berjalan ke arah yang tadi ditunjukkan petugas dengan perasaan was-was. Mataku mulai berkaca-kaca. Jika Liam meninggal, aku bahkan belum memaafkannya bagaimana bisa dia meninggalkan kami.
Aku berada tepat di depan pintu kamar mayat dan begitu takut untuk membuka. Bayiku juga mulai bergerak gelisah, sepertinya karena saat ini perasaan dan mentalku benar-benar tidak dalam kondisi baik. Kulangkahkan kaki tepat di depan pintu. Saat tanganku hendak mendorong pintu, pintu terbuka dan menampakkan sosok Liam yang bajunya penuh darah. Ada perban di kepalanya. Entah apa yang membuatku reflek langsung memeluknya erat.
"..."
Hening dalam beberapa detik sebelum akhirnya Liam memeluk erat tubuhku dan mulai menangis. Tangisannya tertahan, tapi bisa kurasakan begitu dalam dan berat. Aku enggan bertanya dan membiarkan situasi ini untuk beberapa menit. Hingga akhirnya dia bersuara.
"Ini salahku, Senna. Aku yang mencelakakan istriku."
Istriku? Astaga, aku lupa kenyataan jika Liam sudah menikah. Sontak aku melepaskan tubuhnya dan mundur satu langkah ke belakang. Bisa kulihat wajahnya yang basah karena tangisan dan beberapa luka lecet di tubuhnya.
"Hmmphh shhh.."
Tanganku menekan kuat perut buncit bagian bawah sambil menggigit bibir. Tiba-tiba saja perutku terasa kram dan kakiku gemetar. Aku menundukkan kepala dalam, rasanya sakit sekali. Gerakan bayi-bayiku terasa semakin pelan.
"Senna, kakimu.."
Suara Liam membuatku menengok ke arah kakiku dan benar aku merasakan cairan mengalir keluar dari jalan lahirku. Merah. Darah. Ya Tuhan! Kakiku langsung bergetar. Tanganku mencengkram kuat ujung bajuku. Aku takut.
"Senna, kau berdarah.."
Liam mendekatiku dan membantuku untuk tetap berdiri. Darah yang mengalir tidak banyak tapi cukup membuatku dan Liam panik.
"Hmpph Liam sshhh, sakit aahhh.."
Liam dengan sigap langsung menggendong tubuhku dan membawaku ke ruang IGD. Selanjutnya aku benar-benar tidak ingat karena hilang kesadaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hamil (Baby L)
RomansaWARNING 🔞⚠️ Follow dan Vote sebelum membaca. Beberapa bab dengan rate dewasa akan diprivate setelah bab 13. Selamat membaca Aku Hamil (Baby L). [DILARANG COPAS] [NO PLAGIARISM] Senna baru saja putus dari Liam, lalu bertemu John saat pesta tahun...