Darurat

15.8K 97 6
                                    

📅 01 Agustus 2022
Ferienhaus Residence 76

Tangan lemahku mendorong dada Liam sekuat mungkin saat merasakan kontraksi kembali, membuatku reflek mengejan.

"Nnghhh ngghh aaahhh"

Liam bergegas melepaskan remasan tangannya di payudaraku. Lalu melebarkan kembali kedua pahaku. Liam kembali menyapukan jemarinya pada permukaan jalan lahirku. Satu tangannya mencoba meraba perut buncitku yang menegang akibat kontraksi.

"Sayang, ayoo lagi? Dorong lagi, cepat! Dia bisa kehabisan oksigen nanti di dalam."

Jujur energiku benar-benar terkuras, tidak mampu lagi mendorong dengan kuat. Liam akhirnya berpindah kemudian meletakkan kedua tangannya di atas perut buncitku. Liam berdiri sambil terus menepuk pipiku, aku hampir kehilangan kesadaran. Kontraksinya terasa sangat menyiksa membuatku kehabisan energi.

"Senna kau harus terus mendorong, bayimu tersiksa di bawah sana."

Aku meremas kuat pinggiran bathup, mendorong bayiku sekuat tenaga. Liam terus membantu mendorong perutku, terasa sakit, bercampur dengan perih di kemaluanku. Saat dorongan ketiga kusambung, bisa kurasakan sesuatu turun dan mengganjal di bawah sana.

"Sayang, dorong lebih kuat, kali ini bayimu lebih besar dari yang pertama."

Aku ingin mengatakan pada Liam tapi energiku benar-benar habis. Aku hanya bisa menatapnya, memberi kode dan berharap dia memahaminya. Liam mengusap pipiku lalu beranjak dari tempatnya. Liam memahami maksudku.

"Sial.."

Terdengar umpatan Liam saat mengusapkan jari-jarinya di bagian ujung lubang kelaminku, seolah melebarkan jalan lahir bayi kedua kita.

"Sungsang..Frank breech.."

Sungsang? Apa itu tandanya tidak baik? Aku menatap Liam dengan wajah bingung. Liam paham kemudian tersenyum ke arahku.

"It's okay sayang, dengarkan aku. Atur napasmu baik-baik. Ada sisa plasenta dari bayi pertamamu. Aku akan hubungi Andrea."

Apa maksudnya? Tadi dia bilang sungsang? Sekarang sisa plasenta. Aku bahkan tidak mengerti sama sekali ucapannya. Lalu kenapa harus menelepon Andrea. Ingin kutanyakan semua itu tapi energiku benar-benar habis. Itu hal terakhir yang aku ingat.

...

Aku terbangun dan sadar kini telah berada di atas ranjang. Tangan kananku terpasang jarum dengan selang yang kuyakini itu infus. Aku meraba perutku segera, masih terasa mengganjal. Apa bayi keduaku belum lahir?

"Kau sadar, kau pingsan 5 menit, aku membawamu keluar dari bathup. Kontraksinya?", Liam mengoceh sambil mengoleskan gel di perut buncitku lalu menyalakan kembali alat kecil yang di pegangnya.

Dub
...
Dub
...
Dub

Itu suara detak jantung. Tapi mengapa terdengar sangat pelan. Tidak seperti yang tadi aku dengar. Liam segera menuntunku untuk bangun dari ranjang. Dia dengan cekatan memindahkan infus dan menggantungkannya di sisi kiri tubuhku yang berdiri. Tangannya menumpu berat badanku.

"Dengarkan aku, kondisimu dan bayi keduamu tidak baik, kali ini coba untuk mengejan sekuat tenaga. Aku memberimu perangsang kontraksi di dalam infus itu. Akan terasa lebih kuat dari sebelumnya." Liam berhenti sesaat ketika aku menatap wajahnya.

Dia bisa memahami wajah kagetku. Aku hanya mengangguk mesti tidak begitu paham dengan situasi ini. Mataku mulai meneteskan air mata, entah aku merasa begitu sedih kali ini.

"Liam, ayo ke rumah sakit.",ucapku lirih.

"Tidak akan sempat, itu akan berbahaya. Aku sudah menelepon ambulan, butuh waktu 10 menit untuk datang. Kita akan mencoba semaksimal mungkin untuk menyelamatkan bayi keduamu. Kau percaya padaku bukan?", Liam memegang erat kedua lenganku.

"Dorong saat kau merasakan kontraksinya. Seharusnya itu akan segera datang.", begitu Liam selesai dengan ucapannya, kontraksi yang lebih kuat itu datang.

Aku merasakan rasa sakit yang lebih dari sebelumnya. Rasanya kontraksi yang dirangsang obat ini lebih menyiksa. Aku tidak habis pikir kenapa Liam melakukan ini padaku.

"Nnghhh ngghh aaahhh.."
"Hahhh hahhh hahh"

Liam menyelipkan tangannya meraba permukaan jalan lahirku. Kali ini kedua tanganku yang menekan kuat bahunya. Meremasnya dengan sangat kuat, aku yakin Liam kesakitan juga, bisa kulihat wajahnya meringis sesaat.

"Sambung lagi! Lebih kuat!"
"Itu sudah kua..nngghhh nngghhh ouchh, sakit sekali, hahh hahh."

Kurasakan bayiku bergerak terus walau dengan kekuatan yang tidak begitu besar. Ada sesuatu yang mengganjal di jalan lahirku, tapi doronganku belum begitu kuat untuk membuatnya keluar. Liam membantu memasukkan tangannya dan menarik keluar sesuatu dari dalam sana.

"Liam?"
"Dorong!"
"Nnghhh ngghh ngghhh ahhhh"

Tubuhku kembali melemas, kali ini menahan rasa sakit yang begitu kuat. Liam menuntun tanganku ke arah permukaan jalan lahir lalu mengangguk.

"Bayi keduamu salah posisi, sungsang."
"Liam?"
"Masih terasa kontraksi kan? Dorong lagi, kau harus membantunya."

Aku hanya mengangguk lalu mencoba menyambung doronganku. Liam mendorong perutku dengan tangannya. Sakit. Belum lagi sakit kontraksi yang luar biasa ini. Rasanya aku mau pingsan lagi. Liam sadar akan hal itu.

"Senna kumohon, bertahanlah. Dia membutuhkanmu. Tetaplah sadar, bantuan akan segera datang." ucap Liam sambil menepuk pipiku.

"Ngghh ngghhh..."
"Lagi!"
"Ngghhh ngghhhh ahhhhh.."

Plop

Aku merasakan sesuatu meluncur keluar dari jalan lahirku. Membuatku berteriak kuat saat dorongan terakhirku. Sepertinya sesuatu menggantung di bawah sana. Liam segera menarik kembali bagian yang tersangkut, kurasa itu kaki.

"Sial", Liam mengumpat.

Dia menghembuskan napas dan melirik ke arah bayi pertamaku yang ada di atas ranjang. Lalu dia mengecup keningku sedikit lama. Aku masih mencoba mengejan karena kontraksinya masih terasa. Liam kemudian mengarahkan jemarinya ke permukaan jalan lahir, seperti saat persalinan pertama, dia mengecek lilitan di kepala bayiku yang masih berada di dalam.

Lalu saat aku kembali mengejan dia menarik bagian lain tapi gagal, tidak ada yang keluar. Sepertinya bagian bahu dan kepala bayiku masih tertahan di dalam.

"Apa sudah keluar?"
"Kepalanya tersangkut"

Perkataan Liam barusan membuatku merasakan begitu khawatir, bagaimana keadaan bayiku jika tersangkut? Aku reflek melebarkan kakiku saat berdiri dan mencoba merasakan tubuh bayiku yang menggantung.

"Liam kenapa tidak ditarik saja?"
"Kita tunggu ambulan saja."
"Liam kasihan baby, aku coba dorong."
"Jangan! Tetap begitu, saat kontraksi terasa sebisa mungkin tahan. Jangan mengejan, sebentar lagi ambulance akan datang."

Aku menuruti ucapan Liam. Ketahuilah menahan hasrat ingin mengejan seperti di awal adalah yang paling aku benci. Sakit sekali. Aku terus meremas lengan Liam, selain untuk melampiaskan rasa sakitnya, juga untuk menahan berat tubuhku. Kakiku mulai lemas.

"Ssshhh aahhh sakithh nhhh.."
"Atur napasmu sayang.."
"Liammhh aaahhh ouchh.."

Liam menuntunku berjalan perlahan ke arah pintu keluar kamar. Sangat menyiksa, aku yakin bayiku lebih tersiksa disana.

"Liammhh ahh mana ambulannyaahh?"
"Akan segera datang sayang.."
"Baby?"

Aku menoleh ke arah ranjang saat tiba di ambang pintu. Liam paham lalu menuntun tanganku untuk berpegangan pada pintu.

"Pegang yang kuat, aku ambil baby dulu..", ucap Liam lalu berjalan ke arah ranjang dan kembali menggendong bayi pertama kami.

"Kau bisa berpegangan padaku."
"Liam?", ucapku sambil mencoba menahan sakit yang tiba-tiba terasa sekali.

"Liam?!", aku sedikit berteriak saat melihat darah segar mengalir deras di kakiku. Apa ini, aku merasa pusing sekali saat melihatnya.

"Sial.",hanya umpatan Liam yang terakhir kudengar.

Aku Hamil (Baby L) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang