Mual

20.7K 142 0
                                    

📅 12 Februari 2022
Home Sweet Home

John sudah berada di atas tubuhku dan ini putaran kedua kami melakukan sex. Aku sendiri tidak sadar kapan John membawaku kembali ke ranjang. Seingatku dia melucuti pakaianku di kamar mandi.

"Lagi? Kalau mengeluarkannya di dalam John?", kataku dengan suara parau di sela hembusan napas pendekku.

John hanya mengangguk sambil tersenyum dan mengusap permukaan pipiku. Wajahnya mendekat lalu mengecupi kembali kulit leherku yang sudah penuh dengan jejak ciumannya. Tidak kusangka pria ini begitu gagah.

"Senna, sepertinya milikku betah berada di dalam.", bisik John pelan tepat di daun telingaku sebelum akhirnya kembali menggerakkan pinggulnya perlahan.

"Aahhhh.", desahan demi desahan kembali keluar dari bibirku.

Remasan kuat tangan besar John di kedua payudaraku juga begitu nikmat. Ini pertama kalinya setelah hampir 3 bulan lebih aku tidak melakukan sex. John begitu pandai mengontrol gerakannya, dia tahu kapan harus memperlambat dan mempercepatnya. Satu lagi, miliknya cukup besar dan membuatku merasa penuh.

"Arghhh", suara bass John yang mendesah panjang memenuhi ruangan. Tentu bersamaan dengan itu semburan spermanya terasa memenuhi milikku. Kali ketiga dia mengeluarkannya di dalam dan bisa kurasakan cairannya menetes saat dia mencabut miliknya keluar.

"John, kau membuatku tepar, gila!", aku memprotes sembari memukul pelan lengan kekarnya yang memeluk tubuhku.

"Senna kau luar biasa", John mengatakannya saat mengusap lembut puncak kepalaku lalu mengakhirinya dengan kecupan singkat.

Kami berdua tertidur sesaat setelah permainan hebat tadi sebelum akhirnya aku beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.

"Senna apa sakit?", John menanyakan itu tiba-tiba. Pasti karena dia melihat langkah anehku saat berjalan menuju kamar mandi.

"Kau mengejekku?", kuberi John tatapan tajam lalu menutup pintu kamar mandi.

Tapi memang sakit, milikku sedikit perih di bawah sana. Tapi bukan itu yang membuatku beranjak ke kamar mandi. Perutku terasa kram, nyeri dan seperti isinya bercampur aduk. Mual, tapi masih bisa kutahan.

"Tidak mungkin kan?", ucapku bermonolog di depan cermin dengan tangan mengusap permukaan perutku.

Terlihat sedikit berisi memang, tapi kupikir karena memang berat badanku semakin bertambah. Semenjak putus dari Liam memang nafsu makanku bertambah untuk menutupi rasa sakit hatiku. Kupikir wajar.

"Ssshh.", desisku saat kembali merasakan kram di perut. Kali ini cukup sakit hingga membuatku memejamkan mata dan memegang kuat pinggiran wastafel.

Sakitnya tidak hilang, aku sudah menunggu hampir 5 menit di kamar mandi. Bahkan John sudah mengetuk pintu kamar mandi. Kramnya semakin terasa, perutku seperti sedang diremas kuat.

"Senna, kenapa lama?", tanya John dari balik pintu sambil mencoba membuka handelnya. Ya, tadi kukunci pintunya.

"Kembalilah, sebentar lagi aku keluar, Bear. Perutku sakit.", kudengar langkah kakinya menjauh setelah aku menyelesaikan ucapanku. Mungkin dia pikir aku sedang buang air besar.

Sekarang aku terduduk di atas closet, menekuk tubuhku dan meremas kuat perutku. Sakit sekali, belum hilang. Sudah hampir satu jam kutahan, tapi sama sekali tidak berkurang. Kuputuskan keluar kamar mandi dengan menahan rasa sakitnya.

"Senna, aku harus pulang.", ucap John dengan pakaian lengkap.

Saat keluar kamar mandi, kulihat dia sudah rapi dan bersiap pergi. Aku hanya menganggukkan kepala dan menghampirinya, berjinjit pelan memberi kecupan di kedua pipi serta bibirnya.

"Aahhhh ahhh", desahku saat tangan besarnya tiba-tiba meremas payudaraku. Kupukul pelan dadanya.

"Sana.", usirku pelan sambil mendorong juga tubuhnya.

"Aku akan kemari lagi setelah selesai, Senna.", ucapnya lalu menutup pintu dan berlalu dari pandanganku.

"Akkhh", teriakku pelan saat melihat John sudah benar-benar menghilang. Tanganku kembali meremas perutku, kenapa ini.  Satu tangan lain berpegang pada pinggiran meja lalu meraih kunci mobilku. Sepertinya aku harus mengunjungi klinik dan meminta obat.

Setelah susah payah berpakaian dan mengemudikan mobil ke klinik terdekat, akhirnya aku berada di atas ranjang periksa dengan seorang dokter menekan tangannya pada perutku.

"Kapan terakhir kali kamu datang bulan?", dokter itu bertanya sambil menarik alat dengan layar mendekat ke arahku. Sepengetahuanku alat itu alat USG.

📅 12 Februari 2022
Kliniken Schmieder Clinic

"Kau perlu istirahat. Sepertinya ini peregangan ligamen, berapa kali orgasme hari ini?", dokter Andrea bertanya sambil mengusap cairan gel di atas perutku, rasanya dingin.

"Janinmu baik-baik saja. Memang ada perubahan hormon yang membuat wanita hamil jadi mudah birahi, tapi sedikit batasi aktivitas seksual di trimester awal begini.", dokter Andrea menjelaskan sambil menunjuk titik kecil di layar lalu menggerakkan alat yang dipegangnya ke arah bawah perutku.

Aku masih terdiam mendengar penjelasannya. Kedua mataku fokus pada gambar di layar sebelum akhirnya tersadar saat merasakan sesuatu mengusap bagian vaginaku.

"Sshh.", desisku saat merasakan jari dokter Andrea di bawah sana.

Sesuatu terasa mengalir keluar, tapi sedikit. Sesaat setelahnya perutku kembali terasa kram. Benar-benar sangat sakit seperti saat di rumah tadi. Dokter Andrea mengambil sesuatu dan menempatkannya di dalam.

"Senna! Nona Senna!", suara dokter Andrea sedikit keras saat menepuk pipiku pelan.

"Tetaplah sadar, perawat akan membantu memasangkan infus. Kau mengalami perdarahan. Kami akan memindahkan ke ruang rawat.", masih bisa kudengar samar penjelasan dokter Andrea.

Suara roda, getaran di ranjang periksaku dan langkah kaki yang berlalu lalang. Itu terakhir yang aku dengar sebelum akhirnya aku kembali membuka mata dan sudah berada di ruangan dengan sambungan infus di pergelangan tanganku. Masih bisa kutangkap suara dokter Andrea yang berbincang dengan beberapa orang di sana.

"Senna masih bisa mendengarku?", aku hanya mengangguk lemah saat dokter Andrea bertanya.

"Kau harus dirawat di sini. Bisa beritahu nomor walimu, kami harus menghubunginya. Kondisi janinmu baik tapi kondisimu sedikit lemah, pendarahannya tidak banyak tapi tetap harus kami pantau. Bisa hubungi walimu sekarang?", aku masih belum sadar betul dengan situasi sekarang.

"Bayi?", gumamku dengan suara yang begitu lirih.

"Kau mengandung, usianya sudah 12 minggu, kondisimu sekarang memerlukan perawatan.", seorang perawat membantu memberikan penjelasan.

Kugoroh kantong bajuku lalu mengambil ponsel dan menekan angka 1. Nomor Liam. Aku tidak sadar hingga ada suara dan dokter Andrea meraih ponsel dari tanganku. Entah apa obrolan yang mereka bicarakan, karena setelah itu aku tidak mengingat apapun.

Aku Hamil (Baby L) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang