Kehilangan

12.3K 115 5
                                    

📅 01 Agustus 2022
Ferienhaus Residence 76

"Apa? Kenapa harus di saat seperti ini?", ucap Liam pada seseorang di seberang teleponnya. Sementara aku masih berpegang kuat pada lengannya.

"Sssshh..unnhhh..", rintihku dengan pelan karena darah masih menetes dan sakitnya masih begitu terasa.

Perutku terasa seperti tertusuk jarum besar dan tubuh bayiku yang menggantung di bawah membuat lubang kelaminku menjadi panas. Liam menoleh ke arahku lalu menutup kembali pintu kamar.

Aku terkejut menatapnya. Liam kembali menuntunku ke arah ranjang lalu membantuku berbaring disana. Bayi pertamaku dia letakkan tepat di sebelah tubuhku. Liam melebarkan kakiku lalu bisa kurasakan dia memegang tubuh bayiku yang menggantung.

"Mmmhh ambulancenya Liammhh?", ucapku lirih. Tapi hanya direspon dengan anggukan kepala oleh Liam.

"Senna? Dorong lagi sekuat mungkin.", Liam mengucapkan itu dengan arah pandangan padaku. Aku bisa tebak, pasti terjadi sesuatu hingga dia mengurungkan niatnya membawaku ke Rumah Sakit.

"Tunggu ambulance saja, ssshh lemas sekali, aku tidak kuat.", ucapku dengan suara terbata. Kontraksi itu masih datang tapi entah mengapa aku begitu lemas untuk mendorong bayiku.

"Ada kecelakaan di ruas jalan utama. Mereka tidak bisa datang lebih cepat. Itu akan butuh lebih lama dan akan membahayakan bayimu. Kita lahirkan bayimu di sini. Lagipula aku tidak bisa membawamu dengan mobil, ruas jalan itu sementara ditutup.", ujar Liam panjang lebar lalu kembali menekan kuat perut buncitku.

"Liammhh ahhh sakithh, sakitthh.",rintihanku tidak berhenti, terlebih saat Liam menggunakan kekuatannya untuk mendorong perutku.

"Dorong!! Kau bisa membunuh bayinya jika tidak segera dikeluarkan!", bentak Liam padaku.

Jujur bentakan tadi membuatku sedih dan aku bukan tidak ingin berusaha, tapi energiku sudah benar-benar habis. Liam justru membentakku dan menyalahkanku atas semua ini. Padahal dia yang membuatku hamil dan meninggalkanku. Sekarang dia juga yang membuat keputusan untuk membantuku, tapi saat tidak berjalan lancar dia kembali menyalahkanku.

"Kau jahat sshhh."
"Kau yang jahat, kau menyiksa bayimu sendiri."
"Aku tidak sanggup hikss."
"Bukan tidak bisa, kau hanya tidak mau berjuang lagi."

Semakin aku membantah Liam, dia semakin memojokkanku. Itu membuatku semakin sedih. Apa dia sama sekali tidak memikirkan betapa tersiksanya aku. Lelaki sialan.

"Oke, bantu aku dorong, aku akan menarik badan bayimu.", ucap Liam. Dia berhenti mendorong perutku lalu perlahan menarik tubuh bayi keduaku.

Tarikan Liam terasa, sesuatu bergerak di dalam sana. Aku berusaha ikut mendorong, tapi memang usahaku hanya sejauh ini. Liam sesekali melebarkan jalan lahirku dengan jemarinya.

"Maaf.", ucapku lirih karena tidak berhasil berjuang maksimal untuk bayi keduaku.

Tubuhku lemas sekali, sepertinya darah juga terus mengalir. Kurasakan ranjang tempatku berbaring sudah begitu basah. Liam masih berusaha menarik tubuh bayiku.

"Krek"

Terdengar suara seperti gesekan tulang. Aku juga merasakan sesuatu terlepas, tapi sesuatu lagi masih terganjal di ujung jalan lahirku.

"Sial.", Liam mengumpat dengan wajah kesal. Tangannya menarik sesuatu dari balik kedua kakiku yang melebar.

"Liam? Apa yang terjadi?", suaraku sedikit meninggi saat melihat sosok tubuh kecil yang diangkat oleh kedua tangan Liam. Tubuh itu tidak utuh, hanya sampai bagian leher, kepala bayinya tidak terlihat.

"Karena kau tidak mendorong dengan benar, aku tidak bisa menyelamatkannya.", ucap Liam lalu meletakkan tubuh bayi tidak berdosa itu di sebelahnya.

"Jahat, bayiku kenapa kau membunuhnya, aaahh uhh sakit, Liam perutku sakit sekali.", ucapanku perlahan melemah.

Perutku terasa sakit sekali. Padahal aku masih ingin memaki Liam. Seharusnya dia bisa membuat keputusan lebih baik, seharusnya dia menunggu ambulance datang saja.

"Ughhh..aku tidak kuathh..", kalimat terakhir yang aku ucapkan sebelum akhirnya aku tidak mengingat apapun. Ya pasti terekam dengan jelas adalah bagaimana mengenaskan tubuh bayiku terlahir tanpa kepala dan sakit di perutku yang begitu menyiksa.

📅 12 Februari 2023
Rumah Sakit Universitas Dusseldorf, Jerman

Mataku menangkap gambar putih langit-langit suatu ruangan dengan bau khas. Bau obat. Aku menatap ke arah suara yang memanggilku dengan sangat panik.

"Senna, kau bangun? Sayang?"
"Sayang kau mengenaliku?"
"Sayang ada yang sakit?"

Tanganku bergerak menggenggam tangannya. Terasa sekali bagaimana khawatirnya dia dari genggaman tangannya. Terdengar suara tombol yang ditekan. Lalu tidak lama kemudian terlihat sosok dokter yang masuk ke ruangan.

Dokter memeriksa seluruh bagian tubuhku. Aku mengenal sosok dokter ini, dokter Andrea. Penampilannya sedikit berbeda, rambutnya sedikit berubah gaya.

"Semua normal, keadaan istri Anda stabil. Tapi karena dia baru saja sadar dari koma, sebaiknya dia tetap disini selama 2 hari lagi.", ucap dokter tersebut sambil menekan perutku.

"Sakit, Senna?", aku hanya menggelengkan kepala untuk merespon pertanyaannya.

"Anakku?", sentuhan dokter Andrea di perut membuatku teringat kejadian terakhir sebelum ini. Hal terakhir yang kuingat adalah aku melahirkan dua bayi.

"Sayang?"
"Bear, bayiku? Dimana bayiku?"

Dokter itu mengusap pundak lelaki yang sedang kugenggam tangannya. Ya John, lelaki yang ada di hadapanku adalah John.

"Giliranmu, John."

John duduk disampingku yang masih terus menanyakan hal yang sama. Dimana bayi-bayiku. Aku jelas mengingat jika aku melahirkan dua bayi sebelum ini.

John menenangkanku, dia terus mengusap kepalaku dan memberi belaian di tanganku. Dia masih berusaha membuatku lebih tenang.

"Sayang, kau tertidur hampir lebih dari 6 bulan."
"Dimana bayiku?"
"Tenang, aku sudah menyuruh mama untuk membawanya ke ruangan ini. Kita tunggu ya."
"Bear, bayiku? Liam membunuh bayiku."
"Aku akan menceritakannya perlahan. Kau mau bertemu Liam?"
"Tidak. Aku ingin bertemu bayiku."

Tidak lama kemudian seseorang masuk ke ruangan dengan membawa stroller bayi. John berdiri saat wanita itu mendekat lalu mengangkat tubuh kecil yang berbalut selimut.

"Terima kasih, Ma. Bisa tinggalkan kami dulu?"
"Mama senang melihat Senna siuman. Kau bisa menjelaskan semuanya dengan perlahan, ingat dia baru saja sadar dari koma. Jangan terlalu membebaninya."

Setelah mengucapkan itu, wanita tadi keluar. John mendekat dengan membawa bungkusan berisi tubuh bayi itu ke arahku. Dia memutar engsel ranjangku hingga kini posisiku menjadi setengah duduk.

"Lihat, dia Leo. Bayimu, bayi kita."
"Leo?"
"Ya, aku memberinya nama itu. Bagus bukan?"

John menyerahkan bayi itu kepadaku. Aku menggendongnya dengan begitu hati-hati. Bayi ini sudah cukup besar. Tidak terlihat seperti bayi baru lahir.

"Usianya 6 bulan, sayang. Kau tidur begitu lama.", John melepaskan selimut yang membungkusnya. Itu membuat Leo mulai menangis.

"Bear, dia menangis.", John mengeluarkan botol susu dari keranjang stroller lalu memberinya padaku.

"Sepertinya dia haus, berikan saja botol susunya."
"Apa aku tidak bisa menyusuinya, Bear?"
"Sayang, dokter tidak menyarankannya."
"Bear, bayiku ada dua. Satunya?"

Aku menatap ke arah John, meminta penjelasan. Leo yang berada di gendonganku juga mulai tenang dengan botol susu yang terus dihisapnya.

"Bear, aku melahirkan dua bayi. Dimana Liam? Bear, bayiku? Tanyakan pada Liam, dimana bayiku? Bayiku..", aku mulai terisak saat kembali mengingat kejadian saat itu.

Aku Hamil (Baby L) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang