Bukaan (21+)

47.3K 180 1
                                        

📅 31 Juli 2022
Ferienhaus Residence 76

Ternyata Liam yang menggendongku masuk lalu merebahkan tubuhku di sofa. Aku hampir kehilangan kesadaran karena menahan sakit dan hasrat ingin mengejan. Tapi kali ini kontraksinya belum kembali lagi. Sementara Liam menyiapkan peralatannya, dia sudah memakai sarung tangan dan mengusap jalan lahirku sembari menyelipkan dua jari masuk ke dalam sana.

"Sshhh..Liam sakit.."
"Baru bukaan 3, sayang."
"Apa?"

Aku sedikit terkejut dengan ucapan Liam. Sakitnya sudah seperti ini, baru bukaan 3? Bahkan ketubanku sudah merembes sedari tadi. Hampir 4 jam. Sementara Liam hanya tertawa lalu menarik keluar jari-jarinya dari jalan lahirku.

"Kenapa?"
"Tapi rasanya seperti ada yang mendorong keluar, Liam."
"Memang seperti itu, kau mencoba mengejan ya tadi? Terlihat sedikit membengkak."
"Aku tidak kuat menahannya."
"Kali ini ada aku, kau pasti kuat, jangan dulu sebelum bukaannya lengkap."

Aku hanya mengangguk. Liam melepaskan seluruh pakaianku dan membiarkanku di sofa. Tak lama kemudian Liam kembali dengan segelas air putih saat aku merintih pelan, ya kontraksinya datang lagi.

"Pegang tanganku, atur napasmu dengan baik saat merasakannya. Mau berjalan-jalan?"

Aku hanya menggeleng, rasanya tidak kuat, tadi saja seperti mau mati. Aku bahkan tidak membayangkan sensasi sakit seperti itu tapi bukaanku masih 3. Kulihat Liam sedang menata peralatannya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya kuremas kuat setiap kali kontraksi datang.

"Sepertinya ambang nyerimu rendah, atau memang sesakit itu?", ucap Liam lalu tak lama kemudian aku memukul lengannya.

"Sakit tahu! Huh padahal ini salahmu sshhh aahhh..nghhh."

"No nooo, sayang jangan didorong, atur napasmu."

Liam memperagakan teknik pernapasan yang seperti dr. Andrea ajarkan. Aku mengikutinya sambil tersenyum, lucu sekali dia. Aku mengusap bagian bawah perut buncitku yang semakin melorot.

"Liammhh sshhh..kita tidak kerumah sakit?"

"Kau tidak akan seleluasa ini disana, lagipula Andrea masih ada urusan. Dia baru kembali kesini besok pagi. Kau mau dengan dokter lain?"

"Uummhh nhhh..hhaaahhh.."

Aku hanya menggeleng sambil terus mencoba mengatur napas setiap kali kontraksi datang. 10 menit bisa 4 kali dengan lama 5 menit. Kata Liam masih normal. Tapi menurutku ini sakit sekali. Bagaimana saat pembukaan lengkap nanti?

"Liam, aku mau berdiri..",ucapku lalu mengulurkan tangan ke arah lelaki yang sedang sibuk dengan handphonenya.

"Nah, itu bagus, ayoo sini..",Liam membantuku berdiri dan menuntunku berjalan ke arah tangga.

"Naik turun tangga akan membantu."
"Tadi aku hampir tidak sanggup turun ke bawah."
"Itu karena kau sendirian dan panik."

Baru dua langkah menaiki anak tangga, kontraksi kuat terasa kembali. Aku memeluk Liam dengan sedikit tubuh mencondong dan menungging. Sementara Liam mengusap punggungku dengan lembut. Itu terjadi berulang, hingga aku sampai di ujung atas anak tangga.

"Panas, gerah..Liam..sshhh.."
"Kau sudah telanjang sayang."
"Tapi panas mmhhh.."

Kulumat bibir sexy Liam, aku kesal dengan jawabannya. Tapi Liam justru meladeniku. Bibirnya melumat balik sambil satu tangannya meremas kuat payudaraku, kali ini hingga membuat cairan susunya menetes.

"Mmmhh ngghh aahhh ummphhh.."

Aku mendesah saat gelombang kontraksi itu datang lagi, nyeri sekali. Tapi sensasinya berbeda saat aku melakukan lumatan di bibir Liam. Belum lagi tangannya yang lihai merangsang payudaraku. Sontak dadaku makin membusung dengan perut buncitku yang sangat menegang.

Liam sama sekali tidak goyah, sementara tubuhku sudah sangat lemas menahan sakit. Tadinya aku takut karena kita masih berada di tangga. Tapi kekuatan Liam tidak diragukan lagi.

"Ahhhh.."

Byur

Cairan yang kuyakini ketuban tiba-tiba jatuh seperti air kencing dari jalan lahirku. Liam reflek melepaskan lumatannya karena tentu saja kakinya juga basah karena cairan ini. Akhirnya air ketubanku yang merembes sedari tadi pecah juga. Kata Liam bukaan akan semakin cepat saat air ketuban sudah pecah.

"Liam?", ucapku dengan wajah takut ke aeah Liam.

"Ayo ke kamar mandi, biar ku cek kembali bukaanmu, sayang."

Liam menggendongku turun tangga lalu berjalan ke arah kamar mandi. Liam membawaku ke bathup, membuat tubuhku bersandar di dadanya. Tangannya lihai mengelus perut buncitku, bibirnya terus berbisik di daun telingaku.

"Kau kuat sayang, kau pasti bisa" sambil memberiku segelas air hangat.

Aku menatapnya dengan wajah berantakan, energiku habis. Sudah hampir satu jam sejak ketubanku pecah di atas tangga tadi. Bersyukur kontraksi belum datang kembali. Jari Liam menekan jalan lahirku dan membuka kedua jarinya, seperti sedang mengukur jalan lahirku kembali. Bibirnya terus mengecupi pipi dan telingaku bergantian.

"Masih 9.."
"Nnhhh aahh umpphhh, aku tidak kuat, boleh nged-- ngghhh."
"Sayang tidak, jangan dulu, belum waktunya."

Liam menepuk pipiku sambil terus menyemangatiku. Aku terus menggeleng. Rasanya sakit sekali. Mengapa aku masih saja dilarang mengejan? Aku sudah sangat tidak tahan. Berkali-kali aku melampiaskannya pada Liam. Terkadang aku kelepasan mengumpati Liam, walau ujungnya dia hanya tertawa.

Setelah 20 menit, saat kontraksiku kembali, Liam kembalo mengecek jalan lahirku. Dua jarinya merenggang lebar dibawah sana.

"Jalan lahirnya terbuka sempurna, saat kontraksi datang lagi, coba untuk mendorong ya, kali ini sudah tidak kularang, kau pasti bisa. ", bisik Liam sambil menggenggam kuat tanganku.

"Liam? Mengapa kau meninggalkan kami saat itu?" ucapku saat Liam memainkan jemarinya di bibirku.

Liam terdiam, dia tidak menjawab. Aku tersenyum, Liam tidak punya jawaban sepertinya. Liam mengecup bibirku, melumatnya dengan begitu lembut. Tangannya yang lain masih terus merangsang putingku agar kontraksi segera datang lagi. Beberapa menit kemudian kontraksiku kembali datang dan otomatis ciuman kita berakhir.

"Oouchh ahhh nghhhhh----" aku berusaha mendorong sekuat energiku. Liam menggenggam kuat tanganku.

"Lakukan lagi dalam sekali dorongan, lakukan saat kontraksinya datang, aku bantu membuka jalan lahirnya" Liam berpindah posisi ke arah depanku, sementara aku bersandar di tepi bathup.

"Liam aku tidak sanggup ngghhhh ngghhhh ahhhh hahh hahh" tubuhku terasa lemas sekali, tapi aku bisa merasakan sesuatu terdorong turun ke arah lubang kelaminku. Panas sekali rasanya.

Liam membuka pahaku lebih lebar dengan satu tangannya menggenggam tanganku. Kontraksiku semakin jarang, sekarang bahkan sudah 2 menit belum juga kembali. Liam kembali memilin puting susuku perlahan.

"Kontraksinya belum juga kembali?" ucap Liam sambil memastikan dengan memegang perut buncitku tanpa melepas gerakan memilin putingku.

"Mmmhh..Liam aku lemas aku tidak sanggup" keluhku saat tidak kunjung mendapatkan kontraksiku kembali. Rasanya energi sudah habis saat menunggu bukaan.

"Liam apa ada yang salah? Rasa sakitnya tidak kem sshhh..Liam?" Liam hanya mengangguk paham saat aku kembali merasakan kontraksiku. Rasanya pinggangku akan patah, kali ini lebih sakit, tapi aku sama sekali tidak ada energi untuk berteriak.

"Lakukan 2 dorongan sayang" Liam memberikan perintah sambil membantu memainkan jemarinya di lubang kelahiran, sepertinya membantu pelebarannya.

"Nnggghhh...hahhh"
"Bagus, good job, sekali lagi, jika masih terasa kontraksinya"
"Liam aku tidak bis--- "
"Ayoo sayang, kau bisa"
"Nngghhh...hahhh"

Kontraksi perlahan hilang dan aku berusaha mengatur nafasku. Liam membantuku memperbaiki posisiku. Liam begitu ahli membuatku nyaman, aman sekali aku saat berada di sampingnya. Ini yang membuatku susah melupakannya meskipun John juga lelaki yang baik.

"Mau kuambilkan roti dahulu? Kau harus punya energi cukup untuk mengeluarkan si kembar sayang" Liam beranjak dari bathup dan keluar kamar mandi untuk mengambilkanku asupan makanan.

Aku Hamil (Baby L) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang