Pagi disambut oleh kehangatan, keramaian yang mendominasi tempat yang menjadi kegemaran seorang gadis bersurai semi coklat, senyum lebarnya yang terpasang selalu otomatis ditunjukkan kepada sebagian orang yang menyapanya tiap saat. Wajah yang berseri-seri, Shani berhenti di stan Jai dengan senyum selebar-lebarnya.
Yang sibuk meracik kopi menatapnya dengan tatapan ngeri sekaligus terheran-heran, seharian tidak bertemu sekalinya ketemu sudah menjadi gila, batin Jai.
"Jai sayang."
"Ku tampar sumpah Shani Indira."
Shani bukannya ngeri malah tersenyum makin lebar, ia menyadarkan dagu nya di stan Jai yang lumayan tinggi itu.
"Asli gua ga menerima pelanggan orang gila, cabut deh."
"Gua ngga gila?"
"Lo gila. Apa gua harus nelpon Feni?"
Setelah nama Feni disebut Shani menurunkan senyum nya otomatis dan hendak memukul Jai meski ia tau tidak akan sampai karena jarak mereka terlalu jauh. Bisa bahaya kalo Feni sampai tau alasan dibalik kegilaan Shani pagi hari ini, dia belum menceritakan apa-apa pada sahabat satu itu karena jadwal mereka sedang tidak sinkron. Feni senggang, Shani sibuk, begitu sebaliknya.
"Gua ada janji sama Sisca, tuh anak udah dateng belum?"
Jai menggeleng, "Lo liat disini ada berapa banyak manusia yang hinggap."
"Nyamuk kali."
"Emang."
Shani masih mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, siapa tau Sisca sudah menunggu nya lebih dulu, karena sebenarnya dirinya ini sudah telat bertemu Sisca sesuai janji mereka semalam.
"Nyari sapa, ha?" Pundak Shani ditepuk dari belakang membuatnya sedikit terkejut sampai berbalik badan.
"Astaghfirullah."
"Tuhan Yesus."
Jai menatap dua manusia yang berdiri di depan stan nya dengan tatapan datar, dua manusia absurd dijadikan satu ya begini jadinya. Hanya bisa geleng-geleng kepala, dengan cepat ia meletakkan dua cup ukuran berbeda dihadapannya keduanya.
"Eh Jai gua kan belum mesen," Sisca melihat cup ukuran sedang tepat berada dihadapannya.
"Udah, gratis buat lo phi."
"Gua gratis juga dong?"
"Lo bayar Indira, gua ngga menerima dalam bentuk transfer atau kartu. Tunai."
Wajah datar yang ditunjukkan Shani menimbulkan tawa bagi Sisca dan Jai yang kini sudah menerima uluran uang berwarna biru, dengan nominal awalan angka lima. Mau tidak mau Shani harus merelakan uang satu-satunya dari kantong celananya ini. Itupun uang yang sudah kena gilingan mesin cuci berkali-kali.
"Asli duit satu-satunya itu."
Jai menaikkan bahu, tak peduli sambil menyakukan uang tersebut.
"Jai, Jaiii," Sisca merangkul Shani dan segera membawanya pergi dari sana, sebelum Jai benar-benar mengeluarkan evil warning yang bisa memicu keributan yang luar biasa amat teramat sangat Duar.
Pada spot yang tidak terlalu ramai akhirnya Sisca dan Shani duduk bersama, saling berhadapan tentunya. Ini pertama kalinya bagi Shani ada waktu mengobrol hal lain diluar pekerjaan kepada Sisca, rasanya jantung nya hampir copot sendiri jika sudah begini.
"Gimana, gimana."
"Jadi."
"Jadi?"
"Gua."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA & KAHARSA || greshan
Fanfiction"Yang abadi di dunia itu ngga ada." "Kebahagiaan bisa abadi tau, kayak kisah Jack Dawson sama Rose DeWitt, sampai umur mereka sama-sama usai." "Tapi, Jack ninggalin Rose. Jangankan mereka, Habibie aja ditinggal sama Ainun." "Kamu aja yang ngga tau p...