Perasaan riang, campur aduk, pedih, terpendam jauh membayangkan hidup sudah penuh lika liku rasa. Dari jatuh hingga merangkak, lalu hampir terjatuh dan kembali berdiri meski tak tegap. Usaha telah dilakukan demi membangun ikat cinta tanpa paksa dan halang. Menekan ego membuatnya belajar bahwa tidak semua keputusan selalu selaras dengan hati. Terkadang penyesalan akan ucap perpisahan selalu muncul beriringan dengan memori berjalan mundur, memutar kenang bahagia yang seharusnya tidak berakhir buruk.
Sore dengan hujan deras menerpa sekaligus meruntuhkan segala isi, alam semesta dengan dunianya berantakan porak poranda. Ketika hidup dan matinya seolah berada di ujung tombak, kala tubuhnya mulai melemah, kembali merasakan sensasi menyakitkan tidak hanya pada hati melainkan fisik. Harus kembali berjuang untuk terus kuat. Ambruk tubuhnya kala itu, bersamaan dengan hancur sudah rasa percaya dan hubungan yang sudah terjalin. Memori indah tertutup oleh kelam gelap sebuah perpecahan.
"Gre, obatnya tetep diminum rutin ya?"
Tak membalas, hanya memeluk selimut tipis sambil memunggungi Sisca. Mulutnya seolah tidak mau mengeluarkan satu katapun.
"Info aja. Shani udah berangkat ke New York, jangan mikirin dia deh."
Jika tidak memikirkan Shani, Gracia tidak akan berada diatas ranjang ini dengan infus menancap beserta plester kompres tertempel di dahi. Jangankan tidak memikirkan si gadis dokter menyebalkan itu, pikiran Gracia sudah sangat kelam bahkan terlalu gelap. Entah bagaimana cara untuk meluruhkan semuanya.
Dua hari di rumah sakit, setelah sebelumnya harus sesak nafas dan mengalami demam tinggi. Bermalam di rumah sakit dengan air mata tak berhenti meski hari telah berganti. Tak memasok makanan meski perut meronta kelaparan. Bahkan hidup kelam yang sudah diberi pencahayaan sebanyak itu, redup bersamaan tanpa ada penerang cadangan. Tidak ada persiapan.
Ada langkah yang harus dipaksa untuk terus melangkah meski tidak ada pencahayaan ditengah lorong panjang yang gelap. Berharap pada ujung lorong kelak ada sebuah cahaya yang bisa menuntun nya keluar dari lorong panjang ini.
Pasca penyembuhan selama dua hari, Gracia mempelajari diri. Seolah berusaha menyusun hal-hal yang membuatnya merasa begitu jauh dengan apa yang seharusnya terasa dekat. Menyertakan Tuhan seperti apa yang ia lakukan kala sudah tak ada lagi tombol emergency.
Setelah hari pertamanya keluar dari rumah sakit, Gracia meminta untuk ditemani ke Gereja. Seperti biasa berdoa, untuk keluarganya, orang-orang terdekatnya, dirinya, semua doa itu ia ramalkan sebagaimana Gracia selalu begitu setiap menghadap pada Tuhan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat aduan, permohonan, bahkan satu kalimat tak bisa lagi diutarakan sebab air mata menjadi perwakilan rasa sakit dan harapan kedepannya.
"Tuhan terimakasih, semoga Shani selalu sehat. Amin."
Kalimat penutup yang selalu rutin Gracia ucapkan. Tak berubah meski seseorang dalam rengkuhan doa sudah mengecewakan.
Lalu minggu pertama dan di minggu-minggu selanjutnya.
Aktivitas selain rutin mendatangi gereja, kembali mengatur hidup. Ketika bagaimana Feni lebih banyak meluangkan waktu untuk bertamu ke rumah Gracia sekali dua kali tiap minggunya. Jika ditanya apa alasannya, ingin membuang bosan karena pekerjaan rumah sakit. Dan Gracia justru tidak masalah, enak jadi ada teman meski hanya sekedar berbincang.
Jangan tanya bagaimana dengan Sisca, anak itu tidak memiliki waktu sebebas Feni. Karena ketidakhadiran Shani sebagai dokter aktif dan memiliki pengaruh besar, rumah sakit kelabakan. Sisca menjadi opsi kedua sebagai menggeser posisi Shani.
Akhirnya diputuskan tanpa ada persetujuan pihak ketiga, Sisca setuju jika Feni lebih meluangkan waktu bersama Gracia. Dan yang Feni lakukan adalah mengajak Gracia berbincang-bincang, menemani gadis itu mulai mengangkat kuas dan mencampur warna kontras pada papan kanvas. Dengan begitu Gracia tak akan merasa sepi dan seorang diri untuk melanjutkan hidup. Lebih tepatnya Feni mencegah diri Gracia yang dulu hadir kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA & KAHARSA || greshan
Fanfiction"Yang abadi di dunia itu ngga ada." "Kebahagiaan bisa abadi tau, kayak kisah Jack Dawson sama Rose DeWitt, sampai umur mereka sama-sama usai." "Tapi, Jack ninggalin Rose. Jangankan mereka, Habibie aja ditinggal sama Ainun." "Kamu aja yang ngga tau p...