Ombak masih beradu meski langit sudah lenyap oleh keindahan surya. Dingin menusuk namun tak membekukan keduanya, justru kehangatan yang menghantarkan pada keduanya karena pelukan tak kunjung usai. Isak tangis juga masih mengisi keheningan, meski waktu sudah berjalan cukup lama semenjak mereka menduduki bebatuan karang pesisir pantai. Tak ada kata yang keluar setelah sebuah satu kalimat singkat diucapkan. Perpisahan yang tak pernah terbayangkan, meski rasanya ketakutan terbesar itu memang akan terjadi. Air mata terus mengalir, seolah bercampur dengan kepedihan. Tangan kecil itu meremas kuat kain flanel yang mendekapnya sekuat hati. Berharap rasa marah dan kesal terasa oleh gadis itu.
Lembut nan keikhlasan sudah Shani coba berikan kepada Gracia. Setiap perkataan dan perlakuannya tak kunjung membuat gadis itu berhenti menangis. Pedihnya terdengar tangis yang semakin pecah, mengalahkan kuatnya suara deru ombak.
Tak tega.
Tak terima.
Semua rasa bercampur aduk saat ini.
Kembali lagi mengambil sebuah keputusan yang Shani sebenarnya begitu terasa berat, bahkan tak terima.
"Aku ngga mau...."
"Ngga mau kak.."
Kalimat itu berulang kali diucapkan oleh sang kekasih. Menusuk indra pendengaran nya, menyerobot masuk menghancurkan seluruh perasaan dan pertahanannya. Bagai air laut yang sama-sama beradu dengan batu karang, begitu ganas seolah menyampaikan amarah.
Keraguan menggerogoti, namun tak berhasil menggoyahkan. Terasa pilu meski tak bisa dihindari. Tubuh itu didekap kuat, takut akan hancur lebur tak tersisa. Jatuh robohnya pertahanan. Tak terasa hari-harinya yang menyenangkan dan membahagiakan itu harus berakhir, tepat ketika hari bahagia ini berubah menjadi tak menyenangkan. Pikirannya dibuat bekerja semalaman bertemu pagi, mengolah otak untuk mengambil sebuah keputusan. Shani tak terasa sudah berada dititik ini, meratapi sebuah keputusannya diucapkan untuk terakhir kalinya.
"Papa ku seorang bajingan, tapi hidup mu patut diperjuangkan."
"Kita selesai disini, Gracia. Tawaran bajingan itu harus kamu terima."
"Aku mau kamu hidup."
"Harapan pertamaku setelah resmi memilikimu adalah membuat mu kembali merasakan arti hidup. Sekaranglah saatnya."
Harapan kala ajakan di hari pertama ikatan resmi terjalin, untuk membangun sebuah hubungan lebih kuat, membentuk komitmen yang lebih serius, berakhir membahagiakan di malam itu. Pikirnya kala itu, naas berakhir saat ini. Hari ini merubah segalanya. Harus sudah usai. Bukan demi ketenangan dan kebahagiaan dirinya. Melainkan demi keberlangsungan hidup sang penguasa hati.
"Jangan gini Gracia, nanti kamu sesak."
"Kak."
Terlampau lama, tangisan itu yang paling lama dan paling menyakitkan bagi Shani. Seolah bisa merasakan seluruh rasa emosional bercampur aduk menjadi satu, menerjang pertahanan yang sudah tinggal satu dinding mulai terkikis perlahan. Entah akan bertahan berapa lama.
"Janji. Aku ngga peduli sama rentetan janji yang belum kamu penuhi, tapi yang kali ini kamu harus tepati."
Shani mendengar. Gracia terisak sambil berharap dibawah langit malam. Deru ombak turut berderu dengan kencangnya jantung. Entah janji yang keberapa kali ia pinta, entah kapan akan ditepati, namun ia berharap tuhan membantu sang gadis menepati. Mau sehancur apapun jalan untuk langkahnya, ia berharap tuhan memberikan ending terbaik.
"Aku masih berusaha mewujudkannya, Gracia."
"Hiduplah yang lama Shani Indira."
Mata tak bisa bohong, lengan semakin erat mendekap. Air mata mulai menguasai, panas terasa bahkan pedih. Senyum getir ditampakkan dibalik wajah itu. Hanya hamparan laut yang bisa melihat, betapa pecahnya air mata Shani. Seolah permintaan itu adalah sebuah kemustahilan yang tak tampak keberhasilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA & KAHARSA || greshan
Fanfiction"Yang abadi di dunia itu ngga ada." "Kebahagiaan bisa abadi tau, kayak kisah Jack Dawson sama Rose DeWitt, sampai umur mereka sama-sama usai." "Tapi, Jack ninggalin Rose. Jangankan mereka, Habibie aja ditinggal sama Ainun." "Kamu aja yang ngga tau p...