°22 Splotch

1K 122 47
                                    

Bulan kedua, satu minggu, hari pertama.

Alasan tersembunyi kala pakaian rapi itu kini ia kenakan, menarik senyum tipis seramah mungkin, bersikap santun duduk di ruangan putih bersih dengan pendingin yang lumayan menusuk kulit. Aroma lavender semerbak hadir ketika pertama kali masker itu dilepas perlahan untuk menampilkan utuh wajahnya.

Dari balik kacamata model antik itu tampak mata yang menilai dari bawah hingga atas penampilan gadis tersebut.

"Why just register to be a doctor temporarily?"

Dengan senyum hangat beserta mata berbinar, ia tunjukkan sebaik mungkin sambil menatap pada jajaran piagam terbaik rumah sakit umum di tengah kota New York, Amerika. Rasa kagum akan semua sistem dan kehebatan para ahli didalamnya membuat sebuah ketertarikan pada diri Shani timbul. Seorang gadis yang tiap saatnya kala itu berkecamuk dengan berbagai macam jenis kasus di rumah sakit, keterampilannya yang diasah dengan sedemikian rupa hingga berada diatas dengan karirnya yang cukup baik di kawasannya.

Shani tidak bohong. Pada bulan pertamanya singgah di rumah sakit yang begitu megah dengan kecanggihan teknologi dan sistem kinerjanya, sungguh luar biasa. Rasa ingin itu tiap kakinya melangkah mendekat ke tempat dimana semua orang berlari kesana kemari, menampakkan keahliannya, memperlihatkan ketulusannya menerima sekian banyak orang, lebih dari Shani dulu dapatkan bahkan. Membuat Shani benar-benar takjub.

"This hospital is amazing. I am also a doctor, i really want to feel the atmosphere of your greatness."

Sosok lelaki tua itu tertawa kecil, diselingi mengangguk dan membenarkan kacamatanya. Bisa dibilang direktur rumah sakit itu sudah menerima kehadiran Shani, tentu atas bantuan Cinthya. Sudah banyak informasi yang diterima, sebelum Shani mengajukan diri.

"I can see it in your eyes, but we have a hard time accepting doctors who are sick."

Mata Shani tidak berpaling kemanapun selain menaruh fokus pada lelaki tua itu, Thomas Balboa.

"Can't a sick person like me raise a knife?"

Thomas mengangguk sekilas, berdiri dari tempatnya duduk. Berjalan mendekati jendela, pemandangan kota New York yang langsung terpampang jelas terlihat.

"You can work here, but i don't think so for a while..."

Tertegun Shani sejenak, menoleh menatap dokter yang bisa dibilang jam kerjanya sudah sangat jauh lebih dari Shani. Duduk di kursi besar itu pasti butuh perjuangan luar biasa. Thomas dengan raut penuh tenang itu kini menunjukkan senyum tipis.

"I want you to be the greatest doctor here, forever."

- - -

Hari makin malam dan sibuk, unit gawat darurat tak makin surut. Sudah terbiasa dengan kesibukan ini, Shani justru mendapatkan dorongan lebih karena sistem menarik di rumah sakit ini. Perasaan ambis pada dirinya seperti dulu seolah kembali. Dengan tulus hatinya bekerja untuk menyelamatkan orang-orang disini. Begitulah tujuannya dari dulu.

*tolong dianggap ini situasi dalam rumah sakit luar negeri*

"Saturasi delapan puluh dan turun!"

Shani berlari mendekat, "harus pakai selang. Ambilkan kotak jalan napas!"

"Casey berikan etomidate and sux!"

Dengan cekat Shani memeriksa pasien lelaki paruh baya itu. "Okay, berikan dia seratus persen oksigen."

Rekan yang lain tentu mengikuti intrupsi dari Shani. Mereka baru bekerjasama beberapa bulan ini, namun sudah tampak begitu menyatu. Tanpa ada keraguan atau kecemasan, mereka sudah bisa bekerjasama dengan baik.

AMERTA & KAHARSA || greshanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang