"Pelan-pelan, Gracia."
Gelak tawa menyuara diantara lorong-lorong sempit pada area tersebut. Raut wajah bahagia dan tak pernah luntur itu terlihat jelas ketika keduanya beriringan berlari pelan menyusuri rak cat beragam. Tak peduli berapa banyak orang saling berjejeran sama-sama mencari sebuah barang yang diinginkan. Sebuah tempat penjual alat lukis yang lumayan padat itu terlalu sempit bahkan beberapa kali mereka harus sedikit berdempetan dengan orang-orang.
Tak sedetikpun Shani melepas genggamannya pada Gracia. Gadis itu sungguh bersemangat sampai berkali-kali menarik tangan Shani meskipun dihadapannya banyak manusia bergerombol. Sejujurnya Shani tidak menyukai keramaian yang begitu dominan. Kepalanya kadang berdenyut karena pendengarnya menerima banyak sekali suara. Belum lagi Gracia yang terus memaksanya berjalan lebih cepat. Namun, jika demi kesenangan sang kekasih bagaimana lagi.
Setelah melewati lorong, mereka mulai menemukan tempat terbuka, menampakkan sebuah kanvas dari ukuran paling kecil sampai paling besar. Sesungguhnya ini pertama kali seorang Shani Indira melihat sebuah kanvas berbagai macam ukuran.
"Kenapa milih kanvas sebesar itu?"
Salah satu gadis menunjuk sebuah kanvas polos berukuran setinggi badannya. Senyum lebar ditunjukkan memperlihatkan sebuah aura menggemaskan sedang tampak disana. Sedangkan Shani yang sibuk membawa keranjang barang berisikan peralatan lukis lainnya hanya bisa menggeleng heran.
"Karena aku mau ngelukis kamu."
Shani sibuk menurunkan beberapa barang yang sudah mulai berat. Mendengar perkataan tersebut membuatnya menatap Gracia dari jarak lumayan jauh.
"Aku? Kenapa aku?" Menatap heran dan bertanya-tanya kearah Gracia, Shani benar-benar bingung sendiri atas kemauan random Gracia.
Membantu gadis itu bergantian memegang kanvas, Shani mengangkat kanvas itu ke troli yang lebih besar. Sambil menunggu jawaban kira-kira apa alasan kekasihnya harus melukis dirinya.
"Karena," Gracia menggandeng lengan Shani, "Mau aja sih."
Ah, tidak sesuai keinginan Shani. Gadis itu tidak akan memberi tahu alasannya sampai lukisannya benar-benar selesai. Dan itu pasti. Meski Shani memaksa sampai berkali-kali pun gadis itu tidak akan memberikan jawaban yang pasti. Jadi, lebih baik kali ini dia akan membiarkan gadis itu melakukan sesukanya.
"Buang-buang waktu ngelukis aku, mending yang lain."
"Kenapa sih kak."
"Ya kenapa, aku ini ngga ada nilai seninya loh."
Entah kenapa Gracia justru tertawa sampai harus memukul lengan Shani berkali-kali.
"Hahaha.. Kenapa coba nilai seni segala, kak Shani aneh."
"Yakan semisal nih kamu nunjukin lukisan itu, nanti ada yang tanya, eh itu siapa, eh kenapa wajah perempuan aneh gini, ini maksudnya gimana sih," Ucapan Shani menimbulkan pukulan kesal.
"Gak bakal! Orang yang boleh liat cuman aku."
Wajah kesal serta cemberutnya seorang Shania Gracia membuat Shani gemas sendiri.
Setelah akhirnya berjam-jam memilih dan berdesakan banyak orang di tempat ini, mereka segera menyelesaikan semua urusan dan kembali ke mobil. Tempat satu-satunya keheningan mulai terjadi. Sepanjang jalanan meski dengan lagu Taylor Swift berputar, mereka tak ada pembicaraan sama sekali. Langit sore kala itu sungguh cerah, bahkan ibukota dengan kepadatannya tak membuat siapapun akan merasakan pening karena langit begitu indah dijadikan sebagai tempat beristirahat. Hanya dengan memandang.
"Energi aku habis, kamu jangan kepikiran yang aneh-aneh ya."
Meski si gadis yang bersandar sambil memiringkan kepala itu hanya diam saja, Shani merasakan ketidaknyamanan karena perubahan situasi saat ini. Pasti ia tau Gracia akan timbul banyak pertanyaan jika diantara mereka tidak ada obrolan sama sekali. Lalu, beranggapan yang tidak-tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA & KAHARSA || greshan
Fanfiction"Yang abadi di dunia itu ngga ada." "Kebahagiaan bisa abadi tau, kayak kisah Jack Dawson sama Rose DeWitt, sampai umur mereka sama-sama usai." "Tapi, Jack ninggalin Rose. Jangankan mereka, Habibie aja ditinggal sama Ainun." "Kamu aja yang ngga tau p...