Berpindah pada tempat lain, kini seseorang lelaki paruh bayah sedang berdiri dihadapan gadis yang tingginya menyamai dirinya. Gadis itu tengah mengalihkan pandangannya ke arah lain, enggan untuk menatap lelaki dihadapannya. Mereka masih saling diam, lelaki itu merubah posisi berdirinya kini menghadap ke arah jendela besar yang langsung menghadap pemandangan kota. Lorong rumah sakit yang sepi menjadi tempat keduanya kini berbicara. Tak ada keramaian yang mendominasi, hanya ada kesunyian yang menyerang suasana yang canggung. Ini adalah menjadi pertemuan kedua antara anak dan seorang ayah, setelah beberapa hari yang lalu pertemuan mereka berujung keributan. Betul, Shani dan Tuan Natio seorang ayah nya sendiri.
"Papa udah bilang ke kamu, Shani."
Shani mengepal tangannya sangat kuat, ketika akhirnya lelaki itu mengeluarkan suara. Ada rasa sesak yang ia tahan sejak tadi, kepalanya hanya bisa menunduk seperti menyembunyikan wajah kecewa. Ia juga merasa kecewa pada dirinya yang harus merusak malamnya yang awalnya begitu indah, menjadi hancur.
"Keluarga Natio bakal blacklist nama kamu."
"Saya tidak peduli." Ujarnya sambil mengangkat kembali kepalanya.
"Shani! Apa susahnya bekerja seperti koko mu dan yang lain?"
Lorong rumah sakit yang sepi itu tidak bisa menghentikan nada tinggi sang lelaki pada anak perempuan disampingnya.
"Apa susahnya kamu mengganti jabatan kamu? Kerja di tempat terendah di rumah sakit, kamu malu-maluin keluarga Natio."
Terendah, katanya. Shani terkekeh bukan karena hal lucu, melainkan menahan rasa sakit dalam dadanya. Ini bukan pertama kalinya seorang ayah merendahkan pekerjaan anaknya sendiri. Ia mati-matian menahan bulir air mata yang kini menggenang. Ditatapnya wajah seseorang yang kini menoleh sedikit padanya.
"Papa cuman mau liat kamu itu kerja santai, tidak perlu ngotot. Unit gawat darurat itu bisa dihandle orang lain, papa gak peduli jabatan kamu disana apa."
"Kerja santai?" Shani kini membuka mulutnya. "Shani ini dokter pa. Tugas Shani menyelamatkan nyawa orang!" Intonasi suara Shani dari yang awalnya pelan menjadi tinggi.
"Shani punya sumpah dokter. Ini bukan soal pekerjaan, uang, jabatan. Ini soal nyawa." Lanjutnya dengan nada yang bisa ia kontrol.
Lelaki itu kini menyamakan posisi berdirinya menghadap Shani. Wajah lelaki itu tidak tersenyum sama sekali, bahkan mengerutkan keningnya. Diam beberapa saat, Shani mencoba mengatur nafasnya yang tak bisa ia kontrol sejak tadi. Rasa sesak dalam dadanya makin terasa, tapi ia mencoba menahan.
"Kamu mau saya buang seperti ibumu dan Kris?"
"Jangan bawa-bawa mama sama adek. Papa ngga punya hak nyebut mereka." Shani benar-benar merasa dipuncak nya, ia mengucapkan itu penuh dengan penekanan, dia sudah ingin benar-benar membentak lelaki dihadapannya karena membawa ibu dan nama adiknya. Tuan Natio mengangguk, ia kembali pada posisi menatap kearah jendela kaca. Kedua tangannya ia tautkan dibelakang pinggangnya.
"Saya sudah kasih kamu banyak kesempatan, tapi kamu tidak memanfaatkan itu dengan baik. Jika, sampai dua bulan kedepan kamu masih kekeh kerja di unit itu, saya akan pecat kamu."
Rasa marah, kecewa, kesal itu sudah memenuhi perasaan Shani saat ini. Tangannya sudah berkeringat karena mengepal terlalu kuat, ia juga tidak tau telapak tangannya mungkin sudah memerah. Tapi, mulutnya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun dihadapan lelaki yang sudah memiliki kuasa lebih banyak. Seorang ayah kandung Shani Indira yang dulu selalu menjadi kebanggaannya, menjadi salah satu luka pertama dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA & KAHARSA || greshan
Fanfiction"Yang abadi di dunia itu ngga ada." "Kebahagiaan bisa abadi tau, kayak kisah Jack Dawson sama Rose DeWitt, sampai umur mereka sama-sama usai." "Tapi, Jack ninggalin Rose. Jangankan mereka, Habibie aja ditinggal sama Ainun." "Kamu aja yang ngga tau p...