k19: hal menyakitkan untuk Bryan

124 37 8
                                    

HAPPY READING
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Di apartemen Farhan. Evan, bocah lima tahun itu, terbaring di kamar dengan tubuh menggigil hebat. Selimut menutupi tubuhnya hingga ujung dada, sementara kain basah melekat di keningnya. Napasnya pendek, bibirnya memucat, dan tidurnya terlihat sangat gelisah.

Farhan duduk di tepi tempat tidur, matanya terus mengamati Evan. Dengan hati-hati, ia mengganti kompresan di kepala anak itu setiap satu jam sekali, berharap demamnya segera turun.

Tubuh kecil Evan masih sangat panas. Wajah pucatnya menambah kekhawatiran di hati Farhan. Ia sudah mengabari Bryan, dan kini Bryan sedang dalam perjalanan menuju apartemen untuk memastikan kondisi Evan.

Sambil merapikan selimut Evan, Farhan bergumam pelan, "cepet sembuh dong... evan."

Cklek!

Suara pintu apartemen yang terbuka membuat Farhan menoleh. Ia tau siapa itu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kode pintu apartemen selain Bryan.

Bryan melangkah cepat ke kamar Evan. Wajahnya penuh kepanikan begitu matanya melihat anak itu. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh kening Evan.

"Panas..." desis Bryan, napasnya tercekat.

"Apa kita bawa Evan ke rumah sakit aja ya, Pak?" tanya Farhan, berdiri di belakang Bryan dengan nada cemas.

Bryan menoleh perlahan, wajahnya menyiratkan dilema. Tatapannya kembali ke Evan, sedih, seolah sedang mencari jawaban. Saat itu, tangan kecil Evan menggapai dan menyentuh jari Bryan.

"Epan... nggak mau ke lumah sakit. Epan nggak mau disuntik..." rengek Evan dengan suara lemah, matanya terbuka sedikit sebelum kembali terpejam.

Bryan menelan ludah, hatinya terasa perih. Ia menggenggam tangan kecil Evan erat, mencoba menenangkan. "Baik, kita nggak akan ke rumah sakit. Tapi kamu harus sembuh, ya?"

Bryan menoleh pada Farhan. "Panggil dokter ke sini. Cepat."

"Baik, Pak," jawab Farhan tanpa ragu.

***

Beberapa saat kemudian, dokter tiba dan memeriksa Evan dengan teliti.

Setelah menyelesaikan pemeriksaannya, ia menyerahkan sebotol obat kepada Bryan. "Ini obatnya. Berikan sesuai jadwal, dan tetap pantau kondisinya. Jika dalam 24 jam tidak ada perubahan, segera bawa ke rumah sakit."

Bryan mengangguk. "Terima kasih, Dok." Ia menjabat tangan dokter tersebut dengan tatapan penuh rasa syukur.

Farhan mengantar dokter itu hingga ke pintu, sementara Bryan tetap berada di sisi Evan. Ia mengelus lembut rambut anak itu, berharap panas tubuhnya segera turun.

Tiba-tiba, ponsel Bryan berbunyi. Ia melirik layar dengan malas. Nama Aletta muncul di sana, namun ia mengabaikannya.

Telepon itu berbunyi lagi, hingga akhirnya ia menjawab dengan nada jengkel, "Saya segera pulang." Sebelum Aletta sempat bicara lebih jauh, Bryan memutuskan panggilannya.

1 jam Bryan menemani Evan sampai Evan terlelap pulas dari tidurnya.

Bryan berdiri dan menatap Farhan. "Saya akan pergi sekarang, Kalau ada apa-apa, langsung kabari saya."

Farhan mengangguk. "Baik, pak."

***

Di rumah, Bryan membuka pintu kamar dengan tubuh lelah. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Aletta duduk di kursi, menunggunya dengan tatapan dingin.

Bryan mengabaikannya, langsung berjalan ke lemari untuk mengambil pakaian bersih. Namun, sebelum ia sempat ke kamar mandi, suara Aletta menghentikannya.

"Bryan."

Bryan berhenti, tapi tak berbalik. Ia hanya menghela napas lelah.

"Kamu habis dari mana? Kenapa pulang selarut ini?" tanya Aletta, dengan nada dingin.

Bryan tetap diam, membuat Aletta semakin geram. Ia berdiri dan mendekat, menarik bahu Bryan agar menghadapnya. "Bryan, aku bicara sama kamu!"

"Aku capek. Mau istirahat," jawab Bryan datar, mencoba mengakhiri percakapan.

Namun Aletta tidak menyerah. "Kamu anggap Aku ini istri kamu gak sih?! Kenapa kamu masih nggak bisa terima aku? Kamu masih mikirin dia, ya? Udah, lupakan saja dia! Dia itu munafik, Bryan. Dia ninggalin kamu, dan dia tega menjauhkan ayah dari anaknya!"

Bryan langsung berbalik, suaranya penuh dengan kemarahan, "CUKUP! Jangan bikin aku marah! Aku capek, habis kerja, dan jangan pernah bicara buruk tentang dia lagi!"

Aletta tertegun, tetapi tidak menyerah. "Kenapa? Karena dia alasan kamu nggak bisa terima aku? Aku tau aku menghancurkan rumah tangga kamu. Tapi, itu karena aku cinta sama kamu, Bryan!"

Bryan tertawa kecil, getir, tetapi matanya tajam menusuk. "Cinta? Kamu bilang ini cinta? Kamu menghancurkan semuanya. Rumah tangga aku hancur. Anak aku terpisah dari aku. Dan kamu pikir aku akan menerima kamu?"

Aletta menahan tangis, tetapi suaranya bergetar penuh emosi. "Bryan... aku hanya ingin kamu melihat aku... bukan dia."

Bryan menatap Aletta tajam. "Aku nggak akan pernah bisa. Sampai kapan pun itu...."

Bryan menatap Aletta dengan tajam. "Aku benci kamu. Sampai kapan pun, aku akan benci kamu."

Setelah itu Bryan langsung pergi begitu saja. Ia berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Aletta dalam diam yang penuh luka.

Mata Aletta berkaca-kaca, tapi ia tertawa pahit. "Iya, benar. Aku memang menghancurkan rumah tangga kamu...."

Next...

Ig: wp_ayayti1
Tt: ayayti

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KARAFERNELIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang