The Truth

279 61 22
                                    






"Bagaimana bisa aku menemui kalian jika aku berakhir di sini? Padahal sebentar lagi keinginanku untuk tinggal dengan kalian akan terwujud. Astaga, betapa bodohnya aku."
🍁 Hyuuga Hinata 🍁








Angin terasa lebih kencang menyentak sekujur tubuh Hinata dalam rasa dingin yang membeku.
Pipi putihnya memerah seakan ditampar pedihnya kehidupan gadis itu beberapa waktu belakangan.
Langkahnya mantap tak jua berhenti tatkala ia sampai di ujung, mendekat pada pagar besi rendah yang kokoh membentengi wilayah atap.
Sesaat kepalanya mendongak menantang langit kelabu di atas sana. Gelap. Pekat. Sewarna lika-liku kehidupannya yang tak terduga.

Selama ini Hinata selalu rajin berdoa. Patuh pada Tuhan serta ibunya sendiri. Tapi kenapa seolah semesta berbuat tidak adil padanya?
Dia kehilangan sosok ayah dan kasih sayang kedua saudaranya sejak masih kecil.
Ibunya sangat ketat mengatur bagaimana hidupnya harus dijalani.
Lingkaran pertemanan yang ia buat hampir hilang menjadi buih akibat nasib sial.
Bahkan lelaki yang ia cinta dengan tulus justru menorehkan luka paling dalam bagi dirinya.
Mengatasnamakan dendam dan kebencian; sebagai alasan berpura menjalin hubungan yang ia dambakan.

Melihat kondisinya saat ini, siapapun tentu akan berpikir dua kali untuk mau bertukar posisi dengannya.

Hinata tidak masalah jika pemuda itu menjadikan ia tumbal sebagai penebus dosa ibunya.
Tetapi, dia sungguh tidak ingin ditinggalkan semudah itu oleh Naruto.
Terlebih ada nyawa baru yang mulai tumbuh dalam rahimnya. Darah daging mereka berdua, bagian dari Naruto.

Tangannya mengusap kasar air mata yang terus berlomba membasahi pipi. Suaranya parau mengandung kesedihan tak terperi.
Dia masih lah seorang remaja 16 tahun. Sedang dalam keadaan hamil dan ketakutan.
Jiwanya seringkali labil berada dalam persimpangan.

Kemarin dengan tenang dan berani ia berpikiran jika mampu menjalani kehamilannya sendirian. Memikirkan akan ada ibunya yang tidak akan meninggalkan gadis itu sendirian dan kesusahan.
Pada hari ini, semangatnya justru terpatahkan seperti ranting rapuh yang teronggok di jalanan.

Sekali lagi hatinya dibuat kacau oleh sebaris pesan yang ia terima dari Naruto. Padahal Hinata hanya ingin memastikan jika lelaki itu bisa berubah pikiran jika Hinata mengetuk nuraninya. Membicarakan bayi yang dia kandung.

Hatinya sudah cukup lega mengingat ia yang sudah bertemu dan meminta maaf pada Sakura dan Shion.
Sudah tidak ada lagi urusan yang perlu diluruskan pada teman-temannya.

"Brengsek. Dia saja tidak benar-benar menginginkanku. Bagaimana denganmu? Sepertinya kita berdua terlalu percaya diri, huh?"
nada suaranya hambar tidak enak didengar.

Kepalanya menatap ke bawah. Di mana terdapat area parkir dan jalanan yang lebar.
Apartemen ini cukup tinggi. Bisa dipastikan siapa saja akan langsung tewas jika terjun bebas tanpa hambatan.
Benar begitu 'kan?

🍁

Tekadnya sudah bulat melebihi bumi. Rasa takut tidak akan menggoyahkannya sedikit pun.
Hinata sudah muak. Dia merasa sakit akibat ulah orang-orang di sekitarnya. Kematian terasa lebih menyenangkan dalam pikiran sumbu pendeknya.


"Baiklah Hinata. Semua akan berakhir setelah kau melompat dari atas sini. Jika si brengsek itu menginginkanmu di Neraka, maka aku akan menyeretnya ke Neraka bersamaku setelah ini."

Kakinya menapak naik seraya menenangkan ritme detak jantung. Rambut panjang Hinata berkibar dan angin semakin kencang menampar kedua pipinya.

"Oke, Hinata. Jika cara ini tidak berhasil membuatmu langsung mati, maka hanya ada beberapa kemunginan yang akan kau alami. Cidera serius, patah tulang, pecahnya pembuluh darah hingga sel, pendarahan, dan paling parah adalah kerusakan otak."
Ia menarik napas sekali lagi.



School : The Beginning [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang