Bab 05. 𝐋𝐂 | 𝐁ohong

31 13 11
                                    

Zayn membawa Leka mengelilingi jalan raya. Dia tidak benar-benar membawanya bertemu dengan neneknya. Dengan motor tua milik Ayahnya, Leka terlihat nyaman di sana. Tangannya melingkar pada tubuh Zayn sembari menyandarkan kepalanya di punggung pria itu.

Leka lantas mendongak ke samping melihat wajah Zayn. “Ini bukan jalan ke rumah nenek, kan, kak?” seru Leka dengan bingung. Dia takut jika terlihat oleh orang suruhan Ayahnya. Pasti Zayn akan dikeroyok karena dianggap membawa Leka tanpa izin.

“Kita mau ke mana? Jangan jauh-jauh, ya, kak. Leka takut kak Zayn dipukul sama orang suruhan Ayah kalau sampai liat kita,” ujar Leka lagi bernada cemas lalu kembali menyadarkan kepalanya di punggung Zayn.

Zayn sekilas melirik sambil terteguh dengan ucapan Leka. Zayn tahu gadis ini kerap mendapatkan perilaku kasar dari Ayahnya. Namun, dia tidak bisa menolong karena neneknya melarang untuk ikut campur.

“Biarkan, nak. Itu bukan urusan kita, tidak baik ikut campur tanpa tahu sebabnya. Bisa saja kita sendiri yang akan menerima imbasnya.” Zayn ingat betul ucapan neneknya. Ada benarnya, tapi dia tidak suka melihat Leka dipukuli hingga membekas dan terisak.

Suara isakan itu membuat dadanya terasa sesak mendengarnya. Seolah dia pun ikut merasakan luka batin Leka. Zayn pernah berjanji pada dirinya, jika nanti dia sudah lulus SMA dan mendapatkan banyak uang. Dia akan membawa Leka pergi dari rumahnya. Pergi sejauh mungkin, hingga tak ada seorang pun mengenali dia dan Leka.

“Kak Zayn bohong, ya. Tadi bilangnya ke rumah nenek sekarang malah dibawa ke taman,” tutur Leka membuat Zayn tertawa kecil.

“Tapi, kamu suka, kan?” celetuk Zayn diangguki oleh Leka penuh antusias. Keduanya berjalan mengelilingi taman yang cukup luas sembari bercanda gurau. Suara tawa Leka yang jarang terdengar.

Zayn terkadang meminta tolong kepada pengunjung taman lainnya untuk memotret dia dan Leka sebagai bentuk mengabadikan momen ini. Dia juga iseng-iseng mengambil foto Leka diam-diam. Foto Leka tersenyum lebar berhasil Zayn dapatkan. Di dalam foto itu Leka terlihat baik-baik saja, seolah hidupnya jernih tak ada limbah yang merusaknya.
Bahkan hal kecil seperti ini Leka bisa melupakan sejenak rasa sakitnya. Tapi, tidak semua orang mau memberikan hal kecil ini. Mungkin ada, jika Leka benar-benar spesial untuk orang itu. Benar-benar berharga dalam hidup orang itu. Mungkin akan ada.

“Pasti enak jadi kak Zayn,” ujar Leka sembari meminum es coffee yang dibelikan oleh Zayn. Mereka duduk di tengah-tengah taman, melihat para penunjang yang tertawa gembira.

“Apa yang enak?” saut Zayn benar-benar tidak mengerti maksud gadis itu. Dia memandang Leka yang tersenyum kecut ke depan.

“Bisa bebas ke mana pun yang kakak mau. Nggak ada larangan apalagi amarah dari orang tua. Leka jadi pengen jadi yatim piatu kaya kak Zayn, deh.”

Zayn kaget hingga menyeburkan air di dalam mulutnya. Sungguh dia menyangka Leka mengatakan hal seperti ini. Sebenarnya apa yang masalah antara Leka dan Ayahnya? Bagaimana bisa gadis ini bisa berpikir seperti itu?

“Leka, jangan bilang gitu. Nggak baik dan Tuhan nggak suka,” jelas Zayn selembut mungkin agar tidak ada kata yang menyinggung hati gadis itu. Walaupun sebenarnya dia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Sebisa mungkin Zayn memberikan hal ternyaman untuk Leka.

Karena tidak ada jawaban dari Leka, Zayn perlahan menarik bahu Leka dari samping agar bersandar pada dirinya. Pria itu merangkul bahu Leka sembari mengusapnya pelan dan menyandarkan wajahnya di atas kepala gadis itu. Leka pun hanya menurut, mau bagaimana lagi. Dia sendiri juga membutuhkannya, tak ada yang bisa memberikan hal sederhana ini dalam hidupnya.

Bahkan cinta pertama pun tidak. Terkadang Leka berpikir, apa cinta pertama anak perempuan itu adalah Ayahnya? Atau mungkin luka pertama anak perempuan?

“Tuhan, bagaimana aku harus bersikap? Akan, kah, dengan aku membencinya statusku sebagai putrinya akan hilang?”

Dari jauh ada seorang pengunjung yang tidak sengaja melihat Zayn dan Leka dengan posisinya yang manis. Pengunjung itu lantas memotret moment itu dengan kamera yang dibawanya dan meletakkan hasil potretannya di sebelah Zayn, karena tidak ingin mengganggu mereka. Setelahnya pengujung itu pergi kembali berjalan-jalan di taman itu sembari memotret hal-hal indah yang dia lihat.

“Mereka yang hidup yatim piatu sejak kecil punya keinginan untuk merasakan cinta orang tua, dan mereka yang hidup dengan dampingan orang tua justru malah ingin menjadi yatim piatu. Kamu tau kenapa?” ujar Zayn.

Leka menggelengkan kepalanya, mungkin tidak tahu atau mungkin malas memikir hal semacam ini.

“Karena setiap orang tua itu punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang dan cinta buat anak-anak mereka.” Zayn menghela napasnya pelan.

“Kadang nasihat dianggap sebagai amarah, memukul dianggap sebagai pelajaran atau hukuman, khawatir dan cemas dianggap sebagai posesif dan akhirnya tidak bisa bebas bergerak.”

.

.

.

*:..。o○ Selow Update ○o。..:*

❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca

Real LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang