Bab 24. 𝐍𝐋 | 𝐇ari 𝐏ertama

3 1 0
                                    

Naima memarkirkan sepedanya, setelah itu ia berjalan menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Ditengah jalannya ia bertemu dengan Sera, pas sekali Sera juga baru saja sampai.

Sera pun ke sekolah dengan menggunakan sepeda sebagai kendaraannya, sama seperti Naima. Mungkin ini salah satu alasannya mereka cocok menjadi teman. Bahkan saat awal pertama bertemu keduanya langsung akrab.

"Banyak amat tasnya. Bawa apa memang? Sekarang 'kan bukan jadwal olahraga," ucap Sera bertanya dengan tas kecil yang menggantung pada tangan Sera. Keningnya berkerut bingung.

Naima mengangkat tas itu dan memperlihatkan isi di dalamnya kepada Sera. "Baju ganti," jawab Naima dengan santainya.

Ekspresi wajah Sera semakin bingung, tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Naima. "Baju ganti buat apa? Hem, kamu mau main tanpa izin orang tua, ya setelah pulang sekolah," ungkap Sera menebak-nebak. Jarinya menujuk ke arah temannya. Tatapannya seolah mencurigai Naima.

"Saranku, jangan sih, Nai. Biasanya kalau main diam-diam tanpa izin orang tua kita bakal kena batunya. Maksudnya, pasti ada sialnya," sambung Sera sedikit lesu. Ia pernah seperti itu saat SMP dulu, dan sekarang tidak mau mengulanginya lagi.

Saat itu juga kesialan yang Sera dapatkan tidak tanggung-tanggung. Jatuh dari sepedanya, dan sepedanya masuk got, rantainya pun patah dan setir sepedanya tidak lagi lurus. Wajah Sera berubah lesu mengingat kejadian itu. Memalukan, juga menyakitkan.

Naima menahan tawa melihat ekspresi Sera yang terlihat lucu di matanya. "Nggak, kok. Aku nggak maksud kaya gitu. Karena nanti aku ada janji sama seseorang, lagi pula Aku sudah izin sama orang tuaku. Tenang saja," papar Naima menjelaskan pada Sera.

Gadis itu tidak mengatakan seseorang orang itu siapa dan alasannya sebenarnya ia membawa pakaian ganti. Bukan tidak percaya dengan Sera, hanya saja ia takut akan tersebar gosip jika mengatakan ia ada janji dengan Hery.

Meski pria itu bukan raja sekolah, namun tampilan fusiknya cukup menimbulkan gosip baru. Dan, itu adalah sebuah bencana bagi Naima sendiri. Menjadi pusat perhatian karena gosip murahan yang tidak benar membuatnya tidak nyaman menjalankan aktivitasnya.

Memang hanya gosip anak sekolah, namun kadang mulut julid siswi sekolah tidak kalah jauh berbeda dengan mulut para ibu-ibu, bahkan terkadang bisa lebih pedas. Tanpa sengaja membuat seseorang merasa terkucilkan. Ya, Naima menghindari hal itu. Karena ini masa terakhir sekolahnya, jadi sebisa mungkin meminimalisir.

"Syukurlah, aku kira kamu begitu.. Tapi, seseorang itu siapa? Hem, pacarmu, ya. Nggak pernah bilang sebelumnya," ujar Sera dengan nada yang menggoda temannya itu. Bisa dilihat dari ekspresi wajah Sera yang terlihat jahil.

"Adalah, tapi bukan pacar. Mikir sekolah saja kadang masih kurang fokus, apalagi kalau punya pacar, seperti menambah beban," ungkap Naima. Ekspresi wajahnya tertunduk lesu, bahunya merosot mengingat nilai ujiannya paling rendah kemarin.

"Benar juga," sahut Sera mengangguk setuju.

Ia tahu sedihnya Naima saat nilai ujiannya rendah. Padahal dirinya juga mendapatkan nilai yang rendah, namun rasanya lebih sedih melihat Naima. Kalau begitu Sera bimbang, apa ia harus setia menyalin jawaba dari Naima atau yang lain.


Tapi, ia tidak begitu dekat dengan teman sekelasnya yang lain. Benar-benar membuat pikirannya bingung.

***

"Oh, ada buku ini," gumam Naima melihat buku yang menarik perhatiannya saat sedang membersihkan debu dengan kemoceng pada rak buku itu.

Ia meraih buku itu dan mulai membuka halamannya. Terlihat fokus membaca isi buku yang diambilnya. Kemocengnya Ia letakkan dengan asal.


Hery yang melihat Naima begitu fokus membaca buku menghampiri gadis itu. Seperti yang Naima ucapkan tadi pagi. Kini Ia berada di perpustakaan untuk memulai pekerjaannya.

Pria itu mengintip dari belakang tubuh Naima, Ia penasaran buku apa yang bisa membuat Naima begitu fokus dalam membacanya. "Buku apa itu? Isinya pangkat-pangkat semua. Bikin pusing melihatnya," ucap Hery tepat pada telinga gadis itu.

Naima reflek menutup buku yang ada ditangannya dan menjauh dari Hery, Ia tersentak kaget dengan kehadiran pria itu. Langkah kaki Hery pun Ia tidak mendengarnya.

"Astaga, bikin kaget saja," keluh Naima menghela napas lega sembari mengusap dadanya. Hery justru tertawa kecil, Ia tidak bermaksud membuat Naima terkejut. Tapi, ya mau bagaimana jika kehadirannya mengejutkan gadis di depannya.

"Maaf untuk itu. Ku lihat kamu begitu fokus, aku jadi penasaran," papar Hery menjelaskan maksudnya.


"Buku apa yang kamu baca?" tanya Hery penasaran. Untuk pertama kalinya Ia melihat ekspresi fokus dan serius pada wajah Naima.

Naima melirik buku yang ada pada genggaman tangannya. "Oh, ini. Buku rumus matematika. Aku sudah lama mencari buku seperti ini, tapi sepertinya di sekolah tidak ada. Karena nilaiku turun, jadi Aku mencoba membacanya," jelas Naima membuat Hery terdiam mendengarnya.

Helaan napas berat terdengar. "Hah, bahkan saat bekerja pun kamu masih memikirkan itu. Padahal jam sekolah sudah selesai," urai Hery tidak habis pikir dengan adik kelasnya yang satu ini.

Dirinya bahkan sudah pusing melihat rumus dan angka-angka kuadrat di dalam buku itu. Mana mungkin bisa memahami hanya dengan membacanya saja.

Keseharian ini berjalan sampai Naima dan Hery melewati satu tahun lamanya bersama-sama bekerja sebagai penjaga perpustakaan itu. Sekaligus membersihkan juga, sih.



.

.

.

*:..。o○ Selow Update ○o。..:*

❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca

Real LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang