Bab 22. 𝐍𝐋 | 𝐃ewasalah 𝐒edikit

3 1 0
                                    

Naima masuk ke dalam kamar adiknya dengan wajah yang begitu kesal. Suara bantingan pintu mengejutkan Aera yang tengah bersantai memainkan ponselnya. Gadis itu menatap bingung kakaknya.

"Ketuk dulu, dong kalau mau masuk," protes Aera berdecak kesal merasa terganggu karena ulah kakak perempuannya itu yang bertindak semaunya sendiri.

"Halah, kamu juga gitu kalau masuk kamarku. Nggak ketuk nggak bilang apa-apa, tiba-tiba barangku ada yang hilang. Mana penggaris ku yang kamu ambil," ujar Naima membalikkan situasinya.

Tadi pagi saat bangun tidur dan setelah selesai sarapan, Naima hendak mengajarkan pr yang belum ia selesai semalam. Saat itu Naima kebingungan mencari penggaris yang baru dibelinya semalam. Kalau bukan Aera siapa lagi yang akan mengambilnya? Itu yang Naima pikirkan.

"Kakak 'kan bisa beli lagi saja. Ini buatku," balas Aera dengan santai bersandar pada dinding kamarnya.

"Nggak bisa. Kenapa nggak kamu saja yang beli? Kamu selalu mau enaknya, yang lain kamu anggap babu gitu?" cibir Naima dengan emosi yang meluap-luap kepada adiknya.

Aera tidak terima dengan perkataan Naima. "Kakak ngomong apa, suh? Memangnya kakak nggak gitu?" Aera terbawa amarahnya yang menjadi.

Naima berusaha menahan amarahnya sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Ia mengajukan tangannya kepada Aera. "Sini penggarisnya kembalikan. Aku sedang ada tugas untuk besok," ujar Naima berusaha meredamkan emosinya.

"Nggak. Kakak beli saja lagi. Semalam ibu juga bilang kakak harus memberikannya padaku 'kan," tolak Aera memalingkan tubuhnya dari Naima.

Cukup. Naima tidak bisa menahan amarahnya lebih dari ini. Gadis itu menarik baju belakang Aera hingga adiknya berhadapan tepat di depannya. "Kapan aku bilang iya kalau itu untukmu?" tekan Naima sedikit mengeraskan suaranya dengan sorot mata yang terlihat penuh amarah.

"Aku bilang kamu boleh meminjamnya saja. Itu pun kalau kamu sudah izin padaku dan aku memberikan izin. Ini bukan soal penggaris saja, tapi semua barangku yang kamu pinjam dan tidak pernah kembali. Yang kamu pinjam tanpa izin padaku, yang kamu ambil jika aku baru membelinya," geram Naima menatap Aera hingga Aera merasakan sedikit ketakutan.

Apa yang Naima katakan memahami benar. Aera keluar masuk kamar kakaknya semaunya sendiri, mengambil semua barang yang ia mau tanpa berkata pada kakaknya.

"Cobalah dewasa sedikit, Aera," seru Naima penuh ketegasan. Ini yang tidak Naima sukai dari sikap adiknya.

Aera pasti akan mengadu pada orang tuanya dan berujung Naima lah yang bersalah. Naima tidak suka dengan Aera yang selalu dibela dengan embel-embel dia adalah adiknya.

"Kalian ini kenapa? Naima, turunkan suaramu itu," tegur sang ayah tiba-tiba datang bersama dengan sang Ibu.

"Apa yang terjadi? Astaga, kalian berdua ini bikin pusing saja," keluh sang Ibu memegangi kepalanya.

"Berdua? Coba Ibu tanya sama Aera. Karena Ibu dan ayah terlalu membelanya, dia jadi suka memancing keributan denganku," sahut Naima melirik Aera yang menundukkan kepalanya tanpa suara.

Aera takut menatap wajah Naima saat kakaknya sedang terbalut amarah seperti kali ini. Mungkin kah ini salahnya sepenuhnya? Aera sulit membedakan. Menurutnya barang Naima adalah barang miliknya juga.

"Naima, jaga bicaramu. Dia adikmu," tekan sang ayah menatap tegas putri sulungnya.

"Apa salahnya, sih berbagi dengan saudara?" sambung sang ayah lagi. Sedangkan sang Ibu membawa Aera duduk di atas kasur yang tengah ketakutan itu. Perdebatan Naima dan Ayahnya sering kali terjadi dan berakhir dengan amarah. Tidak ada yang mau mengalah.

"Berbagai itu nggak salah, Yah. Yang salah ketika dia mengambilnya tanpa bilang apa-apa dan tidak dikembalikan. Kenapa, sih, ayah nggak sesekali memarahinya? Ayah tahu kelakuan Aera kalau ayah sedang tidak ada di rumah?" ujar Naima membuat ayahnya terdiam, tidak bisa menjawab.

"Aera bak ratu, Yah. Sedangkan aku sama Ibu harus selalu menuruti kemauannya, nggak peduli capek atau nggak. Ibu juga terlalu menuruti kemauan Aera, sampai bertengkar denganku karena aku melarang Ibu menurutinya," papar Naima melirik ke arah Aera dan ibunya.

"Aku juga kan pernah bantuin Ibu masak," sela Aera berusaha membela dirinya.

Naima menghembuskan napasnya kasar sembari memejamkan matanya. "Agh, sudahlah. Ibu sama ayah begitu memanjakan Aera, berbeda denganku yang dari kecil didik dengan keras. Entah akan jadi Aera jika kalian berdua meninggal," ujar Naima melangkah pergi dari sana. Meninggalkan semuanya di sana.

Padahal Naima Cuma ingin Aera itu mandiri, suatu saat Aera pasti akan berpisah dengan orang tuanya. Aera sudah cukup besar dengan usianya. Harusnya bisa berpikir dengan sendirinya. Namun sepertinya, Naima gagal mencontohkan itu pada adiknya.

"Huu, aku harus gimana supaya Aera belajar lebih dewasa sedikit? Setidaknya sesuai dengan usianya," batin Naima menatap langit-langit kamarnya.

.

.

.

*:..。o○ Selow Update ○o。..:*

❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca

Real LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang