Bab 26. 𝐍𝐋 | 𝐇anya 𝐓eman

4 3 0
                                    

kamar Naima terbuka dengan suara benturan yang cukup keras. Terlihat Aera di sana dengan napas memburu dan menatap kesal pada Naima. "Kak, kakak apa-apa, sih?" ujar Aera tiba-tiba saja mengeluh pada Kakaknya.

Naima memandang heran adiknya itu. Sudahlah masuk tanpa permisi. "Ngomong yang jelas, Ra. Dikira aku manusia peka sama ngomongan itu," balas Naima merebahkan dirinya di tempat tidur.

Aera berdecak sebal, lalu mendekat pada Naima. Gadis itu ikut duduk di atas tempat tidur sembari menatap Naima. "Kakak ngapain koar-koar kaya tadi? Astaga, aku 'kan jadi malu dilihat yang lain." Aera mengeluh dengan lesu menundukkan kepalanya.

Setelah Naima pergi tadi, ia langsung diserbu teman sekelasnya. Bukan meminta maaf, justru mewawancarai dirinya. Ada juga yang meminta nomor ponsel Naima padanya.

"Kamu tuh ya, harusnya bilang makasih gitu. Aku bela-belain melawan rasa malas ke sekolahmu demi kamu juga, malah ngeluh kaya gini," seru Naima bangkit dari tidurnya. Ia beralih duduk di depan Aera.

"Itu juga salahmu sendiri. Harusnya melawan kalau Cuma sekadar bullyan bocah SMP, mah. Toh, dia juga nggak kepilih sebagai perwakilan," ucap Naima menyambung ucapannya.

"Iya, ya. Makasih," celetuk Aera terdengar tidak begitu serius mengucapkannya.

"Dari mana juga Kakak tahu ceritanya," gerutu Aera dengan malas. Ia tidak pernah menceritakan kejadian itu pada Kakaknya, tapi bagaimana bisa tahu?

"Oh, itu dari anak laki-laki yang kemarin nganterin kamu. Pacarmu, ya?" goda Naima sembari mengedipkan satu matanya kepada Aera.

Aera nampak mengingatnya. "Leo? Ngarang. Mana mungkin cowok kaya Leo jadi pacarku," balas Aera dengan tegas.

"Lah, kenapa memang tuh bocah? Doyan cewek-cewek?"

Aera berdecak kembali mendengar ucapan Kakaknya itu. "Bukan gitu, malah lebih cocok dibilang anti cewek-cewek. Setiap ada tugas kerja kelompok Leo lebih milih kelompok yang banyak laki-lakinya.Tapi,-"

"Tapi apa? Hem, kamu naksir, ya," seloroh Naima memotong perkataan adiknya. Ia kembali menggoda adiknya itu.

Aera menepis kasar tangan Kakaknya yang menyentuh dagunya dengan tatapan kesal. "Nggak! Dengerin dulu makanya, asal potong ngomong," cibir Aera dengan kesal. Sementara Naima hanya tersenyum dengan wajah yang seolah menggoda adiknya itu.

"Leo itu paling peka diantara anak-anak kelas lainnya. Jarang ngomong, tapi sekalinya ngomong nusuk sampai ubun-ubun. Kadang ada yang sakit hati sama ngomongan Leo," sambung Aera menceritakan teman sekelasnya itu. Wajahnya nampak senang, samar-samar ada sesuatu yang memerah di pipi Aera.

"Tuh 'kan kamu naksir sama dia," timpal Naima merasa yakin begitu mendengarkan cerita dari adiknya itu.

"Nggak, aku Cuma suka Leo sebagai teman, doang. Kakak kali yang sudah punya pacar, tapi nggak bilang-bilang," ujar Aera mengelak perkataan Kakaknya. Justru ia kembali menyerang sang Kakak.

Naima mengerutkan dahinya bingung. "Pacar? Belum ada tuh yang jadi pacarku," ucap Naima tidak paham dengan ucapan adiknya itu. Ia mencoba mengingatnya apakah ada yang pernah menyatakan perasaan padanya.

"Ck, itu loh yang tiap malam nganterin Kakak. Ganteng," ujar Aera masih mengingat lelaki itu.

Bagaimana tidak, tiap malam saja lelaki itu selalu mengantarkan Kakaknya sampai di depan pintu rumah. Aera diam-diam mengintip dari jendela kamarnya karena terpesona dengannya pada pandangan pertama.

"Oh itu kakel ku, tapi memang ganteng, sih. Dia yang kerja di perpustakaan sama aku juga," balas Naima dengan santainya, ia mengambil bantal dan menjadikan tumpuan tangannya.

"Kakak suka dia? Masa, sih satu sekolah satu tempat kerja nggak muncul rasa sukanya," seru Aera dengan menatap Kakaknya.

"Suka. Suka banget malah," jawab Naima mengatakan apa yang ada di dalam perasaannya. Naima tidak bisa menangkal rasa sukanya itu. Ia menyukai Hery, si kakak kelasnya.

"Tapi, ada masalahnya," sambung Naima dengan nada yang pelan. Seperti tidak mengharapkan akhir yang ada di bayangannya.

"Apa? 'kan tinggal kakak bilang ke dia, terus pacaran kalian berdua. Masalahnya di mana? Gengsi?" sahut Aera tidak habis pikir dengan Kakaknya itu. Gengsi saja dibesarkan.

Naima menggelengkan kepala sekali. "Bukan. Masalahnya ada di gereja sama masjid. Mungkin Cuma sebatas suka sebagai teman. Hanya teman," papar Naima sedikit merasakan pedih di dalam hatinya.



.

.

.

*:..。o○ Selow Update ○o。..:*

❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca


Real LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang