"Bian, anak-anak mau nongkrong, nih. Lu ikut nggak?" tanya salah seorang teman kuliah Arbian. Lelaki itu tengah duduk di atas motornya, ia hendak pergi setelah selesai menyelesaikan kelasnya hari ini.
"Oh, sorry. Gue ada urusan. Sorry, gue duluan," balas Arbian setelah pergi dari halaman kampusnya. Melajukan motornya diantara padatnya jalan raya Ibukota. Arbian bukan orang Jakarta, ia hanya kuliah di sana. Orang tuanya sama-sama keturunan Jawa.
Selang beberapa menit lelaki itu sampai di tempat tujuannya. Ia memarkirkan motornya, lalu berjalan masuk ke dalam sebuah rumah sakit yang cukup ramai. Langkah lelaki itu tertuju pada ruangan yang bertulisan Dr. Shellina Putri.
"Masuk," ucap Shellina dari dalam ruangannya begitu mendengar ketukkan pintu itu. Tak lama terlihat Arbian di ujung pintu sana, Shellina mengulas senyum tipis.
Lelaki itu pun sama, mengulas tipis senyumnya. Arbian lantas duduk di hadapan Shellina setelah dipersilakan. "Ada perlu apa, Bian? Sepertinya tiga hari lalu sudah kemari," ujar Shellina pada lelaki di depannya itu.
Arbian tersenyum canggung. "Entahlah. Tapi, ku rasa lebih buruk dari sebelumnya. Di kampus kadang juga sering ku rasakan. Ada obat yang lebih ampuh lagi nggak, Shell?" tutur Arbian terlihat sulit mengatakan semua itu kepada Shellina.
Sedangkan Shellina menghela napasnya pelan di depan Arbian. "Bian, saya sudah bilang sebelumnya. Kenapa kamu tidak mau operasi? Penggunaan obat saja tidak cukup. Saya juga tahu kalau kamu lelah harus terus menerus meminum obat, ada kalanya kamu bosan kan dengan itu?" ucap Shellina menatap mata Arbian.
Arbian adalah pasiennya dari dua tahun lalu, lelaki ini mengidap Leukimia . Dari awal Shellina sudah memberikan saran agar Arbian melakukan operasi ataupun kemoterapi, namun lelaki itu selalu menolaknya. Shellina sendiri tidak tahu alasan Arbian menolak sarannya, lelaki itu justru meminta resep obat yang bisa mengurangi rasa sakitnya. Hampir setiap minggu Arbian menebus obat.
"Itu lagi. Kalau begitu aku pulang saja," sahut Arbian bangkit dari duduknya. Ia tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
Arbian malas membahas operasi ataupun kemoterapi itu. Ia memilih meninggalkan tempat itu dan kembali ke apartemennya. Mungkin ia hanya butuh istirahat, dan setelah itu semuanya kembali baik-baik saja.
Lelaki itu keluar dari ruangan putih itu tanpa memedulikan pandangan Shellina kepada dirinya. "Shellina sialan," gerutu Arbian mengumpat sembari menuju ke tempat parkir, wajahnya nampak kesal.
Suara klakson mengalihkan perhatian Arbian yang sudah duduk nangkring di atas motornya. Ia berbalik dengan wajah yang kesal. "Berisik. Gue tahu lu orang kaya, sabar kalau parkir. Antre," cetus lelaki itu, setelahnya terdiam saat melihat Leka dari kaca pintu mobil yang terbuka.
"Oh, Leka. Ngapain di sini? Lu sakit?" tanya Bian kemudian menatap Leka dengan heran.
Wanita itu tersenyum kecil lalu turun dari mobilnya. Ia menghampiri Arbian yang ada di sana. "Nggak, mau jemput seseorang. Kamu sendiri?" ucap Leka balik bertanya kepada Bian, dahinya sedikit berkerut.
Arbian mengangguk sekali. "Nggak papa. Cek kesehatan saja, sih. Siapa tahu gue punya riwayat penyakit. Buat jaga-jaga," sahut lelaki itu berbohong, menutupi atau lebih tepatnya merahasiakan tujuannya kemari dari Leka.
Leka memperhatikan setiap gerak Arbian yang menurutnya terlihat aneh. "Oh, kalau ada apa-apa bilang, ya. Saya tahu kamu tidak pandai berbohong, Bian. Meski baru ini kita bertemu, setidaknya saya sudah tahu ada apa denganmu," ujar Leka menganggukkan pelan kepalanya menatap Arbian.
Lelaki di depannya itu nampak terkejut dengan ucapan Leka. Ia mencoba mencerna maksud perkataan Leka. Artinya apa ucapan tadi itu.
"Baiklah, saya duluan. Sampai jumpa," ucap Leka menepuk sekali bahu Arbian, lalu pergi dari hadapan lelaki itu.
"I-iya, sampai jumpa, lagi," balas Arbian mendapatkan senyuman dari Leka. Ia memperhatikan Leka dengan penuh tanya. Apa yang Leka tahu mengenal dirinya?
***
Arbian menidurkan dirinya dengan kasar di atas tempat tidur. Ia baru saja selesai makan malam dan juga mandi. Matanya menatap langit-langit kamarnya.
"Apa yang Leka tahu?" gumam lelaki itu mengingat kejadian hari ini.
"Gue nggak seakrab itu sama dia. Dari mana tahunya? Juga, kenapa Leka seolah peduli sama gue?" Arbian berucap dan bertanya kepada dirinya sendiri. Semuanya merumitkan. Hubungan pertemanan seperti apa ini? Tunggu, apa bisa disebut teman?
Mereka semua pemeran karakter dalam sebuah permainan yang dimainkan bersama lima tahun lalu. Benar, saat itu semuanya terlihat akrab dan terbuka. Harapannya sama, bisa bertemu dalam dunia nyata.
Namun, kenapa setelah bertemu seperti menjadi orang asing lagi? Bagian mana yang terlewat? Semua pemain tidak benar akrab dan terbuka, termasuk Arbian.
"Hidup gue, Cuma sampai segini, ya? Padahal gue mau ngerasain punya keluarga sendiri. Ibu bilang semua itu indah," ucap Arbian dengan lirih mengingat kondisi dirinya.
"Maaf, Bu, kalau Bian perginya duluan. Bian nggak mau bikin ibu sama bapak kesusahan untuk kesembuhan Bian," sambung lelaki itu tersenyum melihat bayang-bayang orang tuanya di dalam benaknya.
Ibu dan Bapak, seperti itulah Arbian memanggil kedua orang tuanya. Keluarga mereka sederhana. Selain kuliah, lelaki itu juga bekerja untuk memenuhi kehidupannya di Jakarta. Ia tidak bergantung kepada uang yang dikirmkan oleh orang tua. Terkadang uang itu kembali lagi kepada orang tuanya, Bian mengumpulkannya dan kembali mengirimnya.
"Hidup di Jakarta itu gampang, kalau punya teman serba guna. Eh, aku rasa hidup di mana saja mudah kalau temannya serba guna," gumam Arbian masih dengan posisi tiduran.
Alasan mengapa ia tidak mau melakukan kemoterapi adalah karena biayanya. Toh, menurut Arbian itu tidak akan menjamin dirinya untuk terus hidup. Singkatnya lelaki itu sudah pasrah dengan hidupnya, cukup ia jalani dengan baik selama masih bernapas..
.
.
*:..。o○ Selow Update ○o。..:*
❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Life
General FictionApa yang akan kalian lakukan jika bertemu dengan seseorang yang ada dalam permainan yang sama dengan kalian? Lima remaja ini saling bertemu setelah 5 tahun sebelumnya mereka memainkan sebuah game yang dinamakan 𝘗𝘦𝘳𝘮𝘢𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘢𝘯. Saat...