Bab 07. 𝐋𝐂 | 𝐋agi

12 10 2
                                    

Brakkk

Suara hantaman pintu mengejutkan Leka. Dia sedang sarapan seorang diri pagi ini. Dari arah tangga terlihat sangat Ayah datang dengan wajah yang penuh amarah.

Saat sampai di depan Leka, pria itu menumpahkan piring berisi makanan itu pada wajah putrinya. Leka mendongkak memandang wajah Ayahnya. Gadis itu memasang raut wajah yang bingung.

“Ayah kenapa, sih? Seragam Leka jadi nggak bisa dipakai sekolah,” ucap gadis itu membersihkan makanan yang menempel di baju sekolahnya.

Sang ayah melemparkan beberapa foto dan kertas hasil ujian di depan Leka dengan kasar. Leka mengambil foto itu, wajahnya mencengang terkejut. Di foto itu adalah dirinya dan Zayn saat berada di taman beberapa hari lalu. Leka langsung cemas memikirkan Zayn. Apakah Zayn dipukul lagi oleh ayahnya?

Namun kenyataannya Leka lah yang mendapatkan pukulan itu. Sebuah pukulan keras penuh amarah tertuju pada wajah gadis itu. “Ah! Sakit, yah,” lirih Leka memegang kepalanya yang terbentur pada pinggiran meja makan yang terbuat dari kayu dan ditutup dengan kaca.

“Berani kamu pergi dengan pria itu lagi, hah!?” sentak sang ayah penuh amarah. Pria baya itu mencekal kuat wajah putrinya dengan tatapan tajam.

“Dan, bagaimana bisa nilai ujianmu 89? Pasti karena pengaruh pria itu, kan?” tekan sang ayah terus menerus dan semakin erat mencekal wajah putrinya.

Leka mencoba menggelengkan kepala sebagai jawaban. Pagi ini gadis itu sudah bercucuran air mata. Bukan karena sakit, melainkan takut melihat wajah ayahnya. Sekali pun ini bukan pertama kalinya, namun mengapa rasa takut itu tetap ada. Dan rasa sakit apa lagi yang ada di hati Leka saat menerima perlakuan dari ayahnya?

“Bohong!” murka sang ayah berteriak tepat di wajah Leka.

Gadis itu memejamkan matanya menahan rasa takut yang ada pada tubuhnya. Air mata itu tak berhenti mengalir. Pakaian yang semula bersih dan rapi kini menjadi tidak karuan.

“Ayah, jangan pukul kak Zayn lagi. Leka mohon,” titih Leka menahan kaki ayahnya yang hendak pergi dari sana.

Sang ayah membuang kasar tangan Leka dan kembali menatap tajam mata sebam itu. “Kamu memohon untuk pria seperti itu? Dasar bodoh,” hardik sang ayah lalu pergi begitu saja meninggalkan Leka di sana.

“Bunda, dada Leka sesak lagi,” batin gadis itu memegang erat dadanya sambil menunduk.

Sekilas sang ayah melirik ke arah Leka dan menyuruh pekerja rumah membantu Leka. Beberapa pekerja pun buru-buru menompang tubuh Leka hingga sampai di kamar gadis itu. Bagi mereka melihat perlakuan majikannya seperti ini adalah hal biasa, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Para pekerja tak tega melihatnya. Terlebih jika pekerja itu adalah seorang ibu, hatinya teriris melihat perlakuan kasar yang Leka terima. Semua pekerja menjadi saksi bisu hubungan Leka dan ayahnya. Leka tidak pernah menerima sedikit pun apresiasi dari ayahnya. Yang Leka dapatkan selalu kekerasan, dan kalimat yang sama.

“Kurang sempurna.”

“Kamu bangga dengan nilai rendah ini?”

“Kamu hanya perlu menjadi yang paling sempurna  jangan pikirkan tentang hal lain selain belajar, dan belajar.”

“Dasar bodoh!”

“Anak tidak tahu diri. Tahu apa kamu soal kekerasan?!”

Semua kalimat-kalimat itu terlontar untuk Leka. Prestasi dan kecerdasan gadis itu tidak pernah cukup dimata sang ayah. Selalu kurang, kurang, dan kurang.

“Bunda, Leka rindu bunda. Leka sakit di rumah sama ayah. Leka sakit, bunda.” Ucapan yang begitu lirih menguris hati yang mendengarnya.

“Non Leka sandaran dulu, ya. Saya buatkan bubur sama air hangat,” ucap salah satu pekerja. Leka hanya mengangguk sebagai jawaban.

Pandangannya kosong, bibir yang biasanya indah itu kini pucat. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu.

“Hidup Leka bakal kaya gini terus, ya?” ucap Leka tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya.

Dua pekerja yang menemani Leka saling memberikan tatapan. Mereka sama-sama tidak mengerti harus berbuat apa. Hingga salah satu dari mereka mengeluarkan suaranya.

“Enggak dong, non. Suatu hari nanti bibi yakin, akan ada orang yang bisa menjadi sandaran paling nyaman non Leka,” ujar pekerja tadi.

Leka masih setia menatap ke arah jendela kamarnya, wajahnya pun tak berekspresi “Suatu hari, itu kapan? Leka sudah cukup sakit sekarang,”

Hening.

Dua pekerja itu tak lagi menjawab. Mereka kehabisan kata-kata.

.

.

.

*:..。o○ Selow Update ○o。..:*

❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca


Real LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang