"Naima, Aera. Pukul berapa ini? Kalian bisa terlambat," teriak wanita baya itu kepada putri-putrinya yang belum juga keluar dari kamar mereka.
Sembari menyajikan makanan di atas meja dan juga melayani suaminya yang sudah dulu siap. "Kelihatannya enak," ucap lelaki baya itu memberikan pujian kepada istrinya.
Alih-alih berterima kasih istrinya justru memandang pelik ke arahnya, keningnya berkerut. "Apa masakkan ku pernah tidak enak rasanya?" tanyanya dengan tatapan yang membuat cuit nyali suaminya.
"Tidak. Ah, maksudku masakkan mu selalu enak," balas lelaki baya itu dengan menampilkan senyumnya yang terpaksa. Baru menggunakan tatapannya saja sudah seseram itu, entah apa yang terjadi jika lebih dari ini.
"Tidak akan ku ulangi lagi perkataan ku tadi. Bisa-bisanya aku dalam bahaya," batin lelaki baya itu dengan lesu, lalu menyantap makanannya. Terdengar helaan napas yang pasrah.
Setelah itu Naima keluar dari kamarnya, sudah rapi menggunakan baju sekolah, rambutnya ia biarkan terurai sebab belum terlalu kering. Tas menghiasi belakang punggungnya. Gadis itu membawa tas kecil lainnya, ia letakkan di sampaing kursi tempatnya duduk.
"Tumben sekali kamu lama bersiapnya?" tanya sang Ibu pada Naima yang tengah mengambil nasi pada piringnya.
"Oh itu, mulai hari ini aku 'kan sudah bekerja. Jadi aku membawa baju untuk berganti," jawab Naima mencomot satu ikan utuh yang tersedia di sana. Ia tidak mau rugi. Toh, semalam Ia tidak makan gegara keributan yang disebabkan oleh Aera, si adik yang menjengkelkan.
"Setelah sekolah selesai, aku akan langsung pergi ke sana. Jadi ibu tidak perlu menungguku atau menelpon temanku satu per satu," sambung Naim mengingatkan ibunya, agar tidak khawatir dengan dirinya yang akan pulang terlambat.
"Ibu tidak pernah melakukan itu," timpal sang Ibu dengan santai seolah lupa dengan apa yang pernah dilakukannya. Dalam benak Naima, Ia masih ingat saat satu kelas temannya berkata ibunya menelpon mereka satu per satu karena Ia tidak menjawab telepon dari ibunya itu.
Naima menatap ibunya aneh, Ia hanya menghela napasnya. Toh, sudah berlalu juga. Biarkan saja. Untuk kali ini Ia sudah memberitahukan akan pulang terlambat.
Meski masih sekolah, Naima ingin mencoba pengalaman baru yaitu bekerja. Gadis itu diberikan tawaran oleh Hery untuk membantu dirinya mengurus dan membersihkan perpustakaan yang ada di dekat komplek rumah Hery.
Karena jam kerja Naima tidak menentu, yang artinya menyesuaikan dengan selesainya sekolah, otomatis gaji yang di dapatnya pun tidak terlalu banyak, namun cukup untuk dirinya sendiri.
"Ha?! Ikannya, kenapa kakak mengambilnya?" pekik Aera yang baru saja keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung sarapan bersama. Pagi secerah ini, namun wajah Aera sudah kusut lebih dulu.
"Apa? Kamu bisa ambil kalau mau," balas Naima dengan santai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Aera memandang ikan itu yang hanya tersisa tulangnya saja. Wajahnya memerah menahan emosinya. Kakaknya memang menyebalkan.
"Astaga. Hanya ikan saja wajahmu sampai kusut seperti itu," sahut sang ayah yang kehilangan ketenangan dalam meja makan ini.
Dua anak gadisnya seperti rival abadi. Jika sudah bertemu, ada saja yang diperebutkan, ada saja yang menjadi bibit keributan dan pertengkaran. Mau bagaimana lagi, toh ini juga hasil dari benihnya sendiri.
Ibunya hanya menggelengkan kepalanya yang mulai terasa nyeri menyaksikan tatapan sengut dari dua anak gadisnya. Mungkin ini akibatnya saat ia marah-marah selama hamil keduanya. Bisa juga turunan dari suaminya, tapi kenapa harus sifat yang seperti ini.
"Dasar. Tidak mau mengalah," sengit Aera menyindir Naima di depan sang empun langsung.
Keduanya sama-sama saling melemparkan lirikkan penuh dendam. Aera yang masih bersikap kekanak-kanakan meski sudah menengah pertama dan Naima yang ingin mengajarkan Aera untuk lebih dewasa. Di sinilah awal semula keributan yang sering terjadi di dalam rumah itu.
"Orang gila mana yang mau menerima kekalahan?" balas Naima tidak kalah pedas dan tatapan yang begitu tajam.
"Aku sudah selesai. Aku berangkat dulu," ujar Naima beranjak dari duduknya meletakkan piring yang ia pakai di wastafel.
Ibunya mengangguk beberapa kali yang masih menikmati makanannya. "Ya, hati-hati," balas sang Ibu mengingatkan putri sulungnya. Sedangkan ayahnya masih menikmati kopi yang ada di sampingnya.
Naima mengangguk sebagai jawaban. Ia meraih tas kecil yang tadi Ia letakkan di bawah tempat duduknya. Gadis itu menyalami orang tuanya, lalu keluar rumah dan langsung menaiki sepeda sebagai kendaraannya.
"Tunggu, aku nebeng, dong, Kak!" teriak Aera dari dalam yang tergesa-gesa mengemasi tas sekolahnya. Ia menghentikan kaki Naima yang hendak menggayuh sepeda itu.
"Nggak!" balas Naima juga dengan teriakkan di depan rumah sana. Ia mulai menggayuh sepeda itu lalu menoleh ke belakang menatap sang adik dengan senyum yang mengejek.
"Sialan. Kampret!" umpat Aera ditujukan pada Kakak perempuannya yang meninggalkan dirinya.
"Astaga," keluh sang Ibu dari dalam sana. Para tetangga pun tak heran dengan kelakuan Aera dan Naima tiap pagi.
Mereka hafal betul kakak beradik itu sejak kecil memang hampir jarang sekali terlihat akur. Hal sepele selalu jadi keributan antar mulut keduanya.
..
.
*:..。o○ Selow Update ○o。..:*
❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Life
General FictionApa yang akan kalian lakukan jika bertemu dengan seseorang yang ada dalam permainan yang sama dengan kalian? Lima remaja ini saling bertemu setelah 5 tahun sebelumnya mereka memainkan sebuah game yang dinamakan 𝘗𝘦𝘳𝘮𝘢𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘢𝘯. Saat...