Ketukkan pintu yang berulang kali membuat Naima terbangun dari tidurnya. Gadis itu keluar kamarnya dengan setengah tersadar, ia menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari ibunya. Dengan terpaksa Naima memabukkan pintu itu, entah ke mana ibunya pergi.
"Sabar kenapa kalau bertamu," cibir Naima sembari membuka pintu itu.
Pandangannya menangkap Aera, adiknya bersama dengan seorang lelaki di belakang sana. Ia pantas memandang Aera yang terlihat berbeda dari biasanya, wajah adiknya terlihat ada yang aneh.
"Kenapa kamu? Habis nangis?" tanya Naima dengan serius memegangi kedua bahu Aera, tatapan wajahnya terlihat serius dengan kening berkerut heran.
Aera yang menundukkan kepala hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, ia tidak bersuara menjawab pertanyaan dari kakaknya. Tak lama setelahnya, Aera bergegas masuk meninggalkan Naima dengan lelaki yang ada di belakangnya tadi. Gadis itu langsung masuk ke dalam kamarnya, tanpa mengambil makan siang dulu.
Naima hari ini libur sekolah disebabkan ada kegiatan lomba antar sekolah, ia tidak menjadi perwakilan sekolah. Atau lebih tepatnya tidak terpilih menjadi perwakilan untuk sekolahnya. Mata Naima hanya memandang punggung Aera yang bergetar hingga hilang dari pandangannya.
"Kamu yang bikin adik saya nangis senggukkan gitu? Ngaku cepat," sembur Naima sembari menatap tajam lelaki yang berseragam sekolah seperti adiknya, artinya mereka satu sekolah kan. Naima meletakkan keduanya tangannya di pinggang, membuat anak lelaki itu menelan salivanya.
"Nggak, Kak. Bukan aku," balas lelaki itu penuh keyakinan sembari menggelengkan kepalanya dan sedikit menjauh dari Naima.
"Terus kenapa adik saya nangis gitu? Yakali kesandung sampai segitunya, nggak ada bekasnya juga, tuh," ucap Naima memojokkan lelaki dengan bawahan biru itu.
"Aku Cuma nganterin Aera sampai rumahnya. Soal itu, tadi Aera habis di bully karena nggak terpilih jadi perwakilan sekolah untuk lomba," ujar anak lelaki itu menceritakan kejadiannya pada Naima.
Naima menurunkan tangannya, ia membaca name tag pada seragam lelaki itu. Dalam hatinya, Naima tidak terima adiknya mendapatkan perlakuan seperti dirinya sewaktu SMP dulu. Namun ia juga geram kenapa adiknya itu tidak melawan. Mungkin karena takut masuk bp?
"Ya sudah, sana pulang. Ngapain masih di sini? Makasih nganterin adik saya," papar Naima. Anak lelaki itu mengangguk sekali lalu pergi dari sana sesuai dengan yang dikatakan Naima, yaitu menyuruhnya untuk pulang. Lebih tepatnya seperti mengusir, sih.
Naima membuang napasnya berat, lalu masuk ke dalam dan menutup pintunya. Hal sepele seperti ini akan jadi besar jika berada di mata anak. SMP. Memang apa masalahnya kalah tidak jadi perwakilan sekolah? Dasar anak-anak.
Acara lomba yang diadakan memang bukan hanya tingkat SMA, namun berbagai tingkatan. Setiap sekolah mengambil dua orang siswa dari masing-masing kelas. Hanya waktunya acaranya saja berbeda.
***
"Aera! Cepat, lama banget," teriak Naima di halaman rumahnya. Gadis itu sudah siap dengan pakaian rapi dan menaiki sepeda yang biasanya dibawa ke sekolah. Hari ini pun Naima masih libur.
"Apaan? Mau ke mana Kakak?" tanya Aera yang baru saja keluar, ia menatap Naima dengan bingung.
"Cepat naik, banyak tanya," titah Naima seolah memaksa Aera harus ikut dengannya.
Aera pun hanya menurut dengan perkataan Kakaknya, ia naik di bagian belakang sepeda itu. Karena masih pagi, dan Aera malas berdebat dengan Kakaknya hari ini. Mungkin besok atau nanti saja.
"Ke mana, sih? Masa iya nganterin aku ke sekolah. Tumben banget. Semoga nggak ada apa-apa, sih," batin Aera bertanya-tanya sembari berpikiran hal yang tidak-tidak.
Naima menggayuh sepeda itu dengan tenaganya. Ia jadi harus mengeluarkan tenaga ekstra karena memboncengkan Aera di belakang. Meski keringat Naima bercucuran, ia tetap mengantar Aera hingga di depan sekolah. Bahkan memaksa untuk masuk ke dalam sekolah adiknya.
"Kak! Kakak ngapain, sih?" ujar Aera berteriak sembari mengikuti Kakaknya dari belakang.
Keduanya kini berada di koridor sekolah, Naima mencari-cari kelas adiknya. Kepalanya menoleh dan mengedarkan pandangannya. "Besar banget sekolahmu. Kelasmu yang mana, sih?" tanya Naima mulai lelah menyusuri setiap kelas yang ada.
"Aku sudah gede, nggak perlu dianter sampai depan kelas, Kak," keluh Aera tidak menjawab pertanyaan dari Kakaknya. Naima berdecak pelan.
"Cerewet banget, sih. Kasih tahu saja kelasmu yang mana," tegas Naima mulai kesal dengan adiknya yang salah paham dengan dirinya.Malas bagi Naima mengantarkan Aera jika hanya sukarela saja. Toh, ia kemari sebab ada urusan.
Dengan helaan napas berat, Aera menujukan kelasnya dengan pasrah kepada Naima. Begitu sampai di depan kelas itu, Aera menahan malu karena Naima ikut masuk ke dalamnya.
"Eh Aera. Ini SMP bukan SD yang masih ditungguin sama orang tua," sindir salah satu siswa perempuan yang duduk tepat di belakang bangku Aera. Sementara sang empun masih menahan malunya.
"Memang kenapa? Ada urusan sama kalian? Atau iri nggak ditungguin orang tua seperti Aera? Kalau ngomong yang jelas nggak perlu nyinyir gitu mulutnya," seru Naima mendekati meja siswa perempuan itu dengan wajahnya yang datar dan tangan yang ia letakkan di meja siswa perempuan itu.
Aera berbalik menatap Kakaknya dengan terkejut, ia mendekat di belakang Kakaknya lalu berbicara sesuatu. "Kak, ngapain, sih? Jadi di liatin satu kelas, tuh," bisik Aera memandang sekitar dan menarik Naima menjauh dari sana. Namun, Naima menolaknya dan memberikan kode agar Aera diam saja ditempatnya.
"Leo, dia yang bikin adik saya nangis kemarin? Yang ngebully adik saya karena nggak terpilih sebagai perwakilan sekolah. Dia bukan?" ujar Naima bernada tegas tertuju pada siswa lelaki yang kemarin mengantar Aera pulang. Leo mengangguk sekali tanpa memedulikan situasi yang memanas di kelasnya.
Naima sedikit membungkukkan badannya agar sejajar dengan wajah siswa perempuan itu. "Apa alasan ngebully gitu? Kamu juga nggak terpilih sebagai perwakilan 'kan? Ngesok banget, biar apa gitu? Introspeksi diri sebelum ngomongin orang lain. Diri sendiri saja nggak kepilih, ngehina orang lain. Canda gitu nggak lucu, dik," seru Naima menekankan setiap katanya dengan menatap serius kepada siswa perempuan itu. Ia lantas menormalkan posisinya.
"Kalau mau bercanda jangan bawa-bawa pendidikan, nilai, status sosial, atau derajat orang lain. Bisa jadi yang kalian bilang candaan adalah penyebab seseorang sakit hati. Lain kali dipikir sebelum ngomong, dan awas saja berani bikin adik saya, Aera, nangis lagi. Kalian berurusan dengan saya, anak SMA Merpati. Silakan temui saya di sana kalau nggak terima dengan ucapan saya barusan," tegas Naima memandang seluruh siswa yang ada di dalam kelas itu.
"Dah, pergi dulu. Awas saja pulang-pulang nangis lagi," ucap Naima pada Aera dengan memberikan ancaman pada adik itu.
Hening. Seisi kelas itu tidak ada yang bersuara sampai Naima benar-benar menghilang dari pandangan mereka..
.
.
*:..。o○ Selow Update ○o。..:*
❈ Bintangnya jangan lupa
❈ Don't be a silent reader
❈ Terima kasih sudah membaca
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Life
General FictionApa yang akan kalian lakukan jika bertemu dengan seseorang yang ada dalam permainan yang sama dengan kalian? Lima remaja ini saling bertemu setelah 5 tahun sebelumnya mereka memainkan sebuah game yang dinamakan 𝘗𝘦𝘳𝘮𝘢𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘢𝘯. Saat...