"Kamu Ulfah, bukannya datang membawa kucing malah bawa menantu," kata Om Robert tiba-tiba ketika mereka tepat berada di depan, usai mengetuk dan pintu dibukakan. Jelas, ungkapan Robert membuat Ulfah kelabakan.
"O-Om, jangan begitu ...." Dia berbisik seraya menggeleng, takut Dean marah, meski Dean saat ini tertawa bersama sang om tetapi kelihatannya bukan tawa yang bagus.
Fakta sebenarnya hanya overthinking-nya Ulfah.
"Kalau bukan, siapa di samping kamu?" tanya sang om, penuh selidik menatap Dean.
"Saya Dean, Om. Salam kenal. Saya temannya Ulfah." Mata Ulfah kaget, kenapa Dean tak memperkenalkan diri sebagai dosen, meski begitu akan lebih membingungkan sih kalau diperkenalkan sebagai dosen, bayangkan saja untuk apa seorang dosen mengikuti Ulfah ke sini.
Teman lebih masuk akal.
Apa mereka temenan?
"Oh, teman atau teman?" canda lagi Robert, tertawa menepuk bahu Dean.
"Om, i-ini kucingnya." Sungguh, tak nyaman berlama-lama di sini, Robert sangat ember lambenya meski muka-muka mafia dingin nan kejam.
"Sini, sini." Robert mengambil alih kurungan berisi kucing itu ke sang om, beserta perlengkapan lainnya. "Waduh, nangis mulu dia, udah disusuin belum, Fah?"
"Barusan dikasih susu, tapi karena dia bayi tanpa induk, pasti susah beradaptasi, Om."
Robert mengangguk. "Kasian juga ... kenapa kalian gak memeliharanya? Kan cocok kalian jadi emak bapaknya."
Dean lagi-lagi hanya tertawa, dan Ulfah semakin kelabakan.
"Ga-gak bisa, Om. Pak Dean alergi kucing."
"Pak Dean? Wah, panggilan sayang kalian aneh juga." Mata Ulfah membulat sempurna, nyaris melotot dan melompat keluar andai dia ini kartun, memang Robert mulutnya suka begitu.
"Om, ssshhh ...." Ulfah berharap dia diam. "Om, u-udah kan kalau gitu, kami mau pergi dulu, bentar lagi ngampus."
"Oh, ya ya ya, silakan, makasih, ya, Ulfah, Dean."
"Iya, Om, sama-sama." Ulfah berbalik pergi duluan, dan Dean menyalami Robert dahulu.
"Saya permisi, Om."
"Ya ya ya, jagain ponakan saya, ya." Sempat-sempatnya! Ulfah semakin malu.
Mereka memasuki mobil lagi. "Maafin Om saya, ya, Pak. Dia memang ... suka begitu."
"Dia pria yang lucu, kok." Dean tertawa. Tawanya pasti tawa marah, ucapannya juga sepertinya sambil menahan ledakan emosi.
Duh.
Sesuai ungkapan, karena banyaknya waktu dipakai untuk tadi, mereka mau tak mau harus menuju kampus karena memang sudah waktunya. Untung memakai mobil jadi tak perlu memakan banyak waktu lagi untuk sampai di tempat tujuan.
Saat inilah, mereka harus berpisah, Ulfah untuk belajar dan Dean mengajar. Namun, pengalaman hari ini, sangat menarik.
Meski, tanpa disadari Ulfah, desas-desus soal dia dan Dean, mulai jadi hal yang jauh lebih menarik bagi kalangan penggosip.
"Ngapain, sih, tu ayam kampus?"
Terlebih, saat jam di luar belajar mengajar, Ulfah ditemani teman-teman barunya, para cowok yang tampaknya lumayan populer di kelas. Ulfah tak menyangka, dia lumayan bahagia, kala Rayan CS juga membawa dua teman wanita mereka di sana.
"Whoa, ramai sekali di sini, boleh saya ikutan?" Namun, ada hal yang lebih mencengangkan, ketika Dean datang dan langsung duduk begitu saja di samping Ulfah, padahal Rayan mau duduk di sana. Pria keren berjaket kulit yang faktanya dosen mereka itu, seakan menginterupsi kegiatan mereka tersebut. "Saya duduk di sini, ya, Ulfah."
"Eh, Pak Dean ... Bapak kenal Ulfah?" tanya Rayan, agak gugup dan mereka semua canggung akan keberadaan pria tersebut.
"Kami temenan." Dean berkata tanpa ragu dan Ulfah masih tak menyangka akan hal itu, teman-temannya pun juga.
"Sokab banget ni dosen, Bang***!" Itulah dalam hati Rayan yang berwajah masam.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Kucing ✅
RomancePak Dean .... Pak Dean?! Mata Ulfah membulat sempurna. "Ayo, Ulfah, ayo kita masuk, matkul kamu apa pagi ini?" "Pak-Pak-Pak Dean?! Ka-kamu ... ma-maksud saya, Bapak, Bapak dosen di sini?"