Kini, mereka memasak nasi liwet bersama, berjalan lancar dengan lauk ayam suwir. Dean seperti biasa, makan dengan lahap, dia kelihatan sangat bahagia di tiap suapan.
Ulfah tersenyum melihat itu, tetapi kemudian dia menyendu karena teringat ungkapan Nilam.
Senyum dan kehangatan, topeng luka mendalam.
Ulfah jadi ingin mengobati luka itu.
"Oh ya tadi gimana temenan sama trio kwekkwek itu?" tanya Dean tiba-tiba.
Ulfah mengembalikan senyumnya. "Mereka semua baik, Pak. Miko puitis banget, Dede agak jutek, dan Nilam--"
"Banyak bicara, pasti?" Ulfah tertawa, pria itu kelihatan sangat mengenal mereka. "Apa dia ada cerita sesuatu? Pasti ngejelekin aku, kan?"
Tak salah, tetapi Nilam kebanyakan memuji dosennya ini. Karena sifat gigih pelindungnya.
"Kata dia, masakan Bapak ...." Ulfah tak melanjutkan, takut tersinggung, tetapi Dean hanya tertawa.
"Iya, memang gak enak, gak tau kenapa, padahal sesuai sama tutorialnya, kok." Haruskah Ulfah bilang kalau Dean pernah nyaris memasukkan satu sendok makan garam sementara yang dibutuhkan hanya sendok teh?
"Mungkin ... Bapak perlu yah, menakar bumbunya saja."
"Hm gitu ya? Kok kamu bisa sih masukin bumbu asal tapi tetep enak?"
"Mm gak bisa dibilang asal, sih, Pak." Ulfah berpikir sejenak, apa kata-kata yang tepat? "Saya nentuinnya pakai insting, ngecek rasanya juga, belajar mempaskan bumbunya."
"Hehe aku gak terlalu paham soal itu." Dean mengakui sambil cengengesan. "Ajarin, ya."
"Iya, Pak." Ulfah mengangguk seraya tersenyum.
"Oh, ya, apa ... Nilam bilang sesuatu yang aneh-aneh?" tanya Dean lagi.
Ulfah diam sejenak, haruskah dia beritahu soal itu pada Dean. Dan karena diamnya itu, Dean kurang lebih paham maksudnya. Pastilah.
"Itu sudah jadi rahasia umum kampus ini, soal Rayan, aku, dan ...." Dean menggantung kalimatnya, tak sanggup melanjutkan. Dan Ulfah rasa Dean pun tahu.
"Saya ... turut berduka atas dia, Pak."
Dean tersenyum hangat. "Terima kasih, Ulfah."
"Saya janji akan terus menuruti nasihat Bapak, Pak." Ia tak mau Dean terlalu khawatir soal nasibnya.
"Dan aku juga janji untuk jaga kamu. Itu permintaan dia, menjaga siapa pun yang bisa aku jaga, agar gak berakhir ...." Dean memaksakan senyumnya kali ini, berusaha tegar. "Ah, dia sudah tenang di sana."
Setelahnya, ruang makan itu hening dari percakapan, mereka sibuk makan meski faktanya Ulfah tak enak hati melakukannya karena suasana yang canggung, sedang Dean ... dia makan, lahap, tetapi seakan hanya memasukkan makanan kemudian diam.
Tak seperti pria itu biasanya.
Harusnya Ulfah tak membicarakan ini saat makan.
Selesai makan, Dean tersenyum, berusaha lebih ceria. "Nah, aku udah habis, makanannya enak banget. Kalau kamu mau ke kelas duluan, ke kelas saja, biar aku beresin semuanya."
Ulfah ingin menolak, tetapi sadar kelasnya memang akan mulai sebentar lagi. Dan tampaknya, Dean memang berniat mengusirnya secara halus. Seakan, dia mau sendirian ....
"Baik, Pak. Saya duluan. Maaf gak bisa bantuin, Pak."
Dean tetap saja tersenyum. "Tak mengapa, aku akan nyusul nanti."
Ulfah mengangguk dan dia meninggalkan pria itu, tetapi sejenak dia diam di ambang pintu, menoleh ke belakang di mana Dean mulai mencuci alat makan yang sudah mereka pakai di wastafel.
Ulfah menghela napas dan akhirnya kembali berjalan pergi, meski tak rela.
Sementara Dean, setelah membereskan semua itu, diam di sana selama beberapa saat.
"Bapak, aku gak papa, kok."
"Aku udah merasa sehat sekarang, rasanya aku udah bisa kuliah lagi."
"Sayang banget aku kena DO, padahal aku bentar lagi lulus, tapi gak papa deh, aku besok cari kerja aja."
"Bapak, boleh aku minta sesuatu sama Bapak? Stop nyalahin diri sendiri. Yang terjadi samaku, karena salahku sendiri, kok. Bapak udah bilangin aku, tapi aku sendiri yang nakal."
"Bapak besok kasih makan kucing-kucing jalanan, ya? Soalnya, aku masih belum kuat jalan."
"Dan satu lagi, Pak ...."
....
"Pak ... jangan biarin ... ada yang berakhir kayak aku, ya ...."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Kucing ✅
Storie d'amorePak Dean .... Pak Dean?! Mata Ulfah membulat sempurna. "Ayo, Ulfah, ayo kita masuk, matkul kamu apa pagi ini?" "Pak-Pak-Pak Dean?! Ka-kamu ... ma-maksud saya, Bapak, Bapak dosen di sini?"