"Karena kalian bekerja dengan baik, biar saya traktir makan bakso di depan," kata Dean, para cowok itu bahagia, terlebih Dean memberikan uang pada mereka. "Pakai ini, beli bakso, ingat, bakso. Bukan top up."
"Hehe iya, Pak, iya. Eh Bapak gak ikut?" tanya mereka, karena langsung diserahkan uang begitu saja.
"Saya makan malam di rumah." Mereka berohria.
"Oh ya, yang tadi ... boleh minta nomor hape gak?" Dia masih saja mengingatnya, Dean yang mendengar itu mendengkus sebal.
Cowok itu segera disikut temannnya yang lain. "Pacar Pak Dean itu, Njing!" tegurnya berbisik.
"Eh, seriusan?"
"Yaiya, sama Pak Dean mulu, lu kira siapa? Tu liat muka Pak Dean, apa tuh kalau bukan cemburu?" Dean memang berwajah masam, padahal biasanya ramah tamah.
"Pak Dean, apa boleh saya kasih?" tanya Ulfah, mengagetkan mereka, benar sekali ini kalau sampai izin begitu.
Dean belum menjawab, cowok itu langsung memotong. "Eh, gak usah gak usah, gak jadi. Maafin saya, Pak Dean. Maaf."
"Lho, kalau kamu mau minta nomor dia minta saja, menambah kenalan di kampus kan bagus. Kenapa harus minta maaf sama saya?" Dean menatap bingung.
Cowok itu makin ciut. "Hehe, gak penting juga, Pak, kenalan sama saya."
"Ya udah kalau begitu, sana kalian segera berangkat, nanti kalian kehabisan baksonya. Kalau habis, jajan yang lain saja, tapi ingat jangan yang bukan makanan!" Dean mengingatkan. "Apalagi rokok!"
"Ba-baik, Pak."
"Ayo, Ulfah, kita pulang."
"Oke, Pak." Ulfah dan Dean pun berjalan berdampingan pergi.
"Pak, tas Bapak ada di kantor, kan?"
"Ah, iya, hampir lupa aku bawa, kita ke sana dulu, ya."
Para cowok itu melongo memperhatikan mereka. Benar, pasti sepasang kekasih.
Pulang itu, kegiatan mereka seperti kemarin, beli bahan mentah dahulu sebelum akhirnya menuju rumah Dean guna memasak menu yang mereka setujui. Dan hari ini, berjalan lancar, masakan sekali disentuh Ulfah, jadi sangat enak seperti biasanya.
Hujan turun, hawa dingin hadir, tetapi bubur hangat serta susu jahe menghangatkan mereka berdua.
Ini sangat hangat.
Malam semakin larut, jadi mau tak mau, Ulfah harus kembali pulang. Dean meminjamkannya payung.
"Makasih banyak, Pak."
Dan siapa sangka, Dean juga membawa payung lain. "Biar aku antar kamu sampai ke rumah, biar kamu juga gak perlu bolak-balik balikin payungku."
Ulfah tersenyum menerima perlakuan manis tersebut, diantar pulang Dean di antara derasnya hujan hingga akhirnya sampai di rumah gadis itu.
"Makasih buat hari ini, ya, Fah." Dean menerima payung tersebut dari tangan Ulfah.
"Iya, Pak. Makasih juga. Selamat malam."
"Malam."
Dean pun pamit pergi, Ulfah sejenak memperhatikannya yang semakin jauh di antara hujan, sampai akhirnya di depan rumahnya. Dean sempat berbalik dan melambai ke Ulfah, lalu Ulfah balik melambai memberikan tanda.
Berjalan mulus.
Ulfah memasuki rumahnya, dan segera menghangatkan diri karena sedari tadi hawa dingin menyapa kulitnya. Ia bahagia hari ini, sekaligus sendu. Teringat saat dia masih di balik pintu dapur kantin, mendengar suara Dean terisak, itu menyakitkan.
"Pak Dean itu penuh luka, kalau keliatan secara fisik, mungkin dia udah kayak ... zombie."
Dean berusaha melindunginya, dia pria yang baik, dan Ulfah senang membalas budi. Dia ingin mengobati luka Dean dengan segala hal kecil, yang membuat pria itu merasa bahagia dan lebih baik. Dengan semua ini, dengan semua yang dia bisa, dia tak keberatan karena Ulfah merasa ....
Dia juga bahagia dengan itu semua.
Dia wanita yang juga lahir dengan rasa sakit, dan diobati orang yang menyayanginya, insting dari semua yang dia lihat mengatakan hal sama.
Menolong Dean.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Kucing ✅
Roman d'amourPak Dean .... Pak Dean?! Mata Ulfah membulat sempurna. "Ayo, Ulfah, ayo kita masuk, matkul kamu apa pagi ini?" "Pak-Pak-Pak Dean?! Ka-kamu ... ma-maksud saya, Bapak, Bapak dosen di sini?"