"Hah, sudahlah, tak apa, toh mereka akan bertindak kalau memang kamu melakukan hal ... yang menghancurkanmu sehancur-hancurnya." Frans mengancam dan Dean meneguk saliva. "Dan lagi, Ulfah itu pandai bela diri dan kadang bermain anggar di waktu senggang. Saya akan membiarkan kalian berduaan, asalkan kamu tahu batasan."
Dean semringah dalam hati, yeay!
"Kalau begitu, saya juga akan memperkerjakan kamu, jaga Ulfah dengan baik, kamu ada di bawah lindungan saya jadi tak usah khawatir." Frans menyesap tehnya sejenak. "Dan sesuai permintaan saya di awal, kamu sembunyikan dulu soal fakta Ulfah adalah keponakan saya, dengan begini kasus lama itu bisa diungkap. Kecuali Ulfah mengungkapkannya sendiri."
"Baik, Pak. Akan saya laksanakan dengan baik."
"Apa kamu ingin bayaran di muka--"
"Ti-tidak perlu, Pak." Dean menahan Frans. "Saya akan melindungi Ulfah karena memang saya ingin ... menegakkan keadilan." Wajah Dean sejenak memurung.
"Hm baiklah ...." Frans mengangguk mengerti. "Oh, boleh saya tanya satu hal?"
"Bertanya apa, Pak?"
"Seorang dosen, rela mempertaruhkan reputasinya demi menolong mahasiswi, tetangganya, yang baru dia kenal, lalu rela menghubungi ke atasan, rela menunggu lama demi pertemuan ini. Bukankah menurut kamu, ini berlebihan?"
Dean menggeleng. "Saya rasa ini memang sudah seharusnya, Pak."
"Tidak tidak, pasti ada maksud lain." Frans berpikir sejenak dan Dean jadi gugup karena hal itu. "Apa kamu mencintai Ulfah?"
Dean agak syok mendengarnya, dan dia tak tahu harus menjawab apa. Perasaannya seketika campur aduk. Cinta itu memang bagaimana? Sepertinya abstrak.
"Pikirkanlah dengan baik, meski dulu seorang ART, Ulfah sekarang bagian dari keluarga konglomerat. Minimal, naikkan value-mu untuk bersanding secara pantas." Frans berkata dan Dean hanya diam.
Dia tak tahu harus bereaksi apa, dan terlalu takut untuk itu.
"Saya ingin yang terbaik untuk semua keluarga saya." Frans berdiri dari duduknya, pun berjalan melewati Dean, meski demikian dia sempat berhenti seraya menepuk bahu pria itu sebelum akhirnya keluar dari kafetaria.
Dean menghela napas. "Baik, Pak." Dia berguman pelan.
Dan dia sekarang berusaha agar bersikap biasa saja nanti, yah, fokus ke tujuan utama. Menjaga apa yang masih bisa dia jaga.
Pria itu lalu bangkit berdiri dan keluar dari kafetaria, langkah kakinya membawanya menuju ke sebuah toko pernak-pernik. Sebuah gantungan kunci berbentuk kucing dia ambil di sana. Sebelum akhirnya si pria kembali berjalan.
Terus berjalan sampai akhirnya, tiba di sebuah area pemakaman.
Langkah Dean memasuki ke area penuh nisan dari mereka yang sudah tiada tersebut, lalu berhenti di salah satu makam di sana. Dean meletakkan gantungan kunci tersebut di hadapan pusara tersebut.
Dean memejamkan mata seraya menghela napas. Rasanya dia bisa mendengar sesuatu ....
"Aku gak melarang kamu bercengkerama dengan mereka, tapi harusnya kamu bersih-bersih kek. Kamu lupa aku alergi kucing?"
"Eh, maaf, Pak Dean. Hampir lupa." Dean bisa mendengar suara tawa hangat itu.
"Nih, bonus kamu, jangan semuanya kamu jajanin makanan kucing."
"Hehe, Bapak tau aja."
Sementara itu, di sisi Ulfah ....
"Dia pernah jebak kating yang dia suka sampe diperkosa massal." Ulfah mengingat ungkapan mengerikan oleh Nilam saat dibisiki tersebut. "Dan akhirnya, kating itu meninggal karena stres berat dan sakit. Sedih banget, kan? Padahal harusnya, dia lulus tahun lalu."
"Yang paling sedih, jelas Pak Dean, karena dia asdos Pak Dean, dan Pak Dean kenal baik sama dia."
"Pak Dean, meski tetap senyum dan hangat gitu, banyak luka yang dia simpen. Terutama kehilangan ... dia. Jadi, Pak Dean ...."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Kucing ✅
RomancePak Dean .... Pak Dean?! Mata Ulfah membulat sempurna. "Ayo, Ulfah, ayo kita masuk, matkul kamu apa pagi ini?" "Pak-Pak-Pak Dean?! Ka-kamu ... ma-maksud saya, Bapak, Bapak dosen di sini?"