Chapter 10

2.4K 66 1
                                    

Pagi itu, setelah segala aktivitas yang lain beres, Ulfah dengan penampilan kasual ala anak kuliahan berdiri di depan rumahnya. Beberapa kali dia menghela napas, tarik hembus, tarik hembus, oke dia siap. Siap menunggu seseorang yang lewat ....

"Pagi Ulfah!" sapa seseorang, dan ternyata dia tetangganya yang lain.

Ulfah menghela napas lega. "Pagi juga," sapanya balik.

Ulfah celingak-celinguk kembali, apa Dean tidak akan lewat pagi ini? Dia pun melangkah lebih sedikit ke depan, melewati pagarnya, dan bertepatan itu.

"Pagi, Ulfah. Kamu ke kampus?" Ulfah terperanjat pelan, kaget, karena nyatanya Dean sudah akan berjalan kemari, andai dia lebih sabar.

"Benar, Pak."

"Baiklah, aku duluan, ya." Dean tersenyum dan kembali berjalan.

"Eh, Pak." Ulfah segera menghentikannya, Dean menoleh.

"Ada apa?" tanya sang pria.

"Saya ... boleh saya bareng Bapak?" Ulfah agak gugup mengatakannya.

Dean tertawa hangat. "Tentu, ayo." Ulfah tersenyum malu-malu dan akhirnya keduanya mulai berjalan, Ulfah sedikit di belakang Dean. "Oh ya, kelasku hari ini siang, jadi kalau kamu mau duluan ke kampus tak masalah, soalnya aku juga bakalan ... yah, menyapa lebih banyak kucing di gang."

"Sa-saya juga kelas siang, sebenarnya, Pak." Ulfah juga kelas siang, dia sengaja sepagi ini agar jalan bersama Dean, jadi mahasiswi baik nan teladan. "Dan saya juga mau niru Bapak."

Malam tadi, memang, Ulfah memesannya. Di tasnya, ada sebungkus makanan kucing di sana.

"Oh, aku ada temen, nih. Senang rasanya, biasanya cuma sendirian." Dean tertawa hangat, dan Ulfah sangat lega akan reaksinya.

"Iya, Pak. Eh, itu ada kucing." Ulfah menunjuk ke arah kucing yang tak jauh dari mereka.

"Mari kita kasih makan!" Dean tampak ceria, mereka pun mulai menghampiri, dan semeter berhenti sejenak. Dean bermaksud mengenakan ... tunggu.

"Astaga ...."

"Kenapa, Pak?" Ulfah menatap heran Dean yang kelihatan syok.

"Aku lupa membawa masker dan sarung tangan." Dean mendengkus pelan, ia lalu menatap sekitaran. Ada warung di dekat mereka dan segera, Dean bertanya pada penjualnya.

"Pak, ada sarung tangan plastik atau masker?"

Sayangnya, si pria menggeleng. "Gak ada, Mas. Di apotek keknya banyak."

Sayangnya, apotek tak ada di sekitar sini, kalau dilihat di warung sekitar pun tampaknya juga tak ada.

"Pak, mungkin saya aja yang bantu ngasih makannya?" tawar Ulfah, Dean menoleh ke arahnya.

"Maaf, jadinya ngerepotin kamu, Ulfah."

"Gak papa, kok, Pak." Ulfah tersenyum manis, senyum yang menawan di mata Dean. "Kan memang niat saya mau ngasih makan juga, hehe."

"Untung ada kamu." Keduanya tertawa hangat.

Dan berikutnya, akhirnya Ulfah yang menjadi pengulur tangan untuk Dean yang harus jaga jarak dengan kucing itu, Dean tersenyum melihat betapa akrabnya Ulfah dengan para kucing, sekaligus iri sih karena bahkan menyentuhnya saja Dean akan kena masalah.

Andai dia tak punya alergi separah itu.

Namun, tak mengapa, melihat mereka dari jauh, mengagumi keimutannya dari video dan foto, cukup sajalah.

Setelah memberi makan kucing itu, kini mereka kembali berjalan, mencari kucing-kucing lain yang ada di jalanan. Namun, mereka terkejut akan satu hal.

"Ulfah, anak kucing." Ya, ada seekor anak kucing, menangis sendirian di pinggir jalan raya, sigap mereka menghampiri dan Ulfah yang mengamankan.

"Duh, kasian banget, Pak. Apa dia kepisah sama ibunya?" Anak kucing ini terlalu kecil, dan sendirian.

"Sepertinya kita tunggu aja di sini, kalau sampe lama ibunya gak dateng, kita harus bawa dia ke vet." Ulfah mengangguk setuju.

Ulfah pun mengamankan sang anak kucing agar tak ke mana-mana, dan Dean mulai memancing ibu si kucing dengan makanan.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Dosen Kucing ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang