Chapter 23

1.2K 51 0
                                    

Dean menghela napas, dalam diam air mata pria itu menetes mengingat masa lalunya dengan gadis itu. Sejenak mendengkus, Dean menangkup air pada keran dan mulau membasuh wajahnya, menutupi tangisan.

"Bapak, senyum mulu, kalau mau nangis, nangis aja, gak ada yang ngelarang."

"Kenapa aku harus nangis kalau enggak ada yang perlu aku tangisin?"

"Oh, bener juga, hehe."

"Lagi, memalukan kalau seorang pria menangis, toh menangis gak menyelesaikan masalah."

"Bapak salah, menangis bukan soal masalah selesai atau apa, tapi rasa lega. Kalau disimpen terus, di kepala, bisa bahaya. Ibarat menahan kentut, kalau gak dikeluarin segera, sakit perut, lho, Pak."

"Waduh, kenapa perumpamaan kamu jelek sekali, kentut."

Dean rasa dia tak bisa menahan tangisan ini. Dengan cepat pria itu menyelesaikan sisa pekerjaannya dan berjalan segera keluar, menuju ke bagian tersepi di sekitar gudang belakang. Namun, saat sampai di sana, Dean yang ingin meluapkan emosinya, sebuah asap yang lewat mengagetkan Dean.

Dean memicingkan mata, dia mendekat ke arah asal muasal asap tersebut, dan bau khas itu tercium.

Ini rokok.

Kampus ini menerapkan bebas rokok, larangan keras merokok di area kampus, gudang belakang meski sepi juga termasuk bagian sana. Siapa pun itu, tak bisa dimaafkan, Dean harus memberi pelajaran pada mereka.

Dean terus mendekat ke arah mereka, dan tampaklah beberapa mahasiswa dan mahasiswi, yang sepertinya main game bersama dan dua orang di antaranya merokok, serta ada yang menyemil juga. Mereka pun masih tak menyadari kehadiran Dean.

"Sedang apa kalian?" Pertanyaan Dean bahkan tak digubris, mereka sibuk bermain game.

Dean mendengkus sebal, segera dia rampas salah satu pemilik ponsel terdekat.

"Bang--eh Pak Dean." Mereka terkejut, dan Dean tersenyum manis, senyum mematikan ala dosen killer yang siap melahap siapa saja di depannya.

Apalagi, mereka baru saja tertangkap basah, merokok.

"Yang merokok, ikut saya." Dean menunjuk dua pemegang rokok.

"Elo sih! Gue udah bilang gak usah ngerokok!" Mereka mulai menyalahkan.

"Kalau gak sambil udud, gue susah fokus."

"Hah, alesan!"

"Eh, bukan hanya yang merokok, kalian semua saja. Biar adil."

Mereka tampak menunduk sesal, tapi entah kenapa masih fokus bermain, kelihatannya yang diambil ponselnya pun meski diam, wajahnya memelas.

"Baiklah, tamatkan satu match sana, lalu nanti ikut saya." Dean akhirnya memberi keringanan. Meski akhirnya mereka kalah karena tak fokus seperti di awal, apalagi sadar kalau mereka telah terkena getahnya karena perbuatan mereka.

"Kalian harusnya bersyukur ini saya, saya beri kalian keringanan tapi perlu diingat, jangan pernah merokok lagi di area kampus. Kalian tahu kan ini peraturan kampus?" Dean mengingatkan mereka yang tampaknya lega karena hukuman tak terlalu buruk. "Bersihkan toilet saat kalian selesai nanti, saya akan memastikan semuanya bersih, kalau tidak ... kalian tahu apa yang terjadi."

"Ba-baik, Pak. Toilet dosen kan?"

Dean tersenyum mematikan. "Bukan. Toilet laki-laki."

Dia tahu betapa horornya isi toilet laki-laki di kampus, jadi lihatlah wajah mereka saat ini. Sangat menggambarkan ketakutan luar biasa.

"Baiklah, kalian sudah saya ingat dan catat, silakan pergi."

Karena hal ini, Dean tak jadi menangis, tetapi emosinya lumayan terluapkan dengan memberikan nasihat sambil sedikit marah ke mereka tadi. Ada-ada saja.

Kegiatan berjalan seperti biasanya, seharian itu pula dia tak bertemu Ulfah karena beda matkul, dan Dean rasa ini sudah jam pulang mahasiswinya itu. Dia segera mencari sang gadis, memberitahukan kalau dia tak bisa pulang bersama. Jujur saja Dean khawatir, tapi mendengar ungkapan Frans kekhawatirannya terkompres.

Ulfah aman dengan mereka semua.

Tak butuh waktu lama menemukannya, dan siapa sangka jawaban Ulfah. "Saya mau nungguin Bapak aja, boleh gak?"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Dosen Kucing ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang