Chandra menghela nafas lega ketika membaca jawaban Mas Lian yang ada di sisi lain pulau Jawa sekarang. Calon kakak iparnya itu sudah pasti merayu kakaknya untuk mengizinkan kafe ditutup lebih awal. Walaupun pesan-pesan dari grup setelahnya berupa ejekan dari mama, tapi candaan di grup itu yang membuat Chandra merasa tidak kesepian hari ini.
"Mas Danu, nanti tutup jam sembilan ya."
Mas Danu mengangguk dengan wajah keheranan, walaupun sebenarnya ia senang-senang saja karena bisa pulang lebih awal.
Chandra mulai mencatat di buku keuangan yang ada di meja khusus kakaknya. Dari meja itu, Chandra bisa melihat hingga keluar kafe karena tidak ada satu pun. tembok penghalang. Hanya dinding kaca tebal yang memisahkan area dapur dengan ruangan tempat meja itu berada.
Masih ada sekitar enam pelanggan di sana. Mas Danu menemani mereka sambil sesekali mengganti lagu sesuai dengan kemauan pelanggan. Mas Danu sudah agak santai sejak mengganti tanda 'buka' menjadi 'tutup' pada pintu kafe, pun tidak lupa memberitahu pelanggan yang masih setia menghuni meja kursi mereka bahwa kafe harus tutup dua jam lebih cepat hari ini. Tidak ada yang keberatan, hanya saja sempat terdengar ucapan mengaduh karena malas harus mencari tempat lain untuk mengobrol.
Chandra menghampiri mas Danu yang masih asik mengobrol dengan salah satu pelanggan paling setia mereka. Chandra ingat dengan laki-laki itu, hanya saja, sekarang ia sadar bahwa sepertinya ia tidak pernah menulis nama pelanggan itu di gelas minuman yang ia racik selama ini. Chandra hanya ingat wajahnya, tapi tidak dengan namanya.
"Eh, Mas Andra. Gimana? Tutup sekarang?"
Chandra menggeleng, tangannya membuat gestur 'nanti dulu' setelah mendapati Mas Danu mendadak bangkit dari kursi tingginya.
"Sepuluh menit lagi, mas. Masih ada yang belum habis donatnya, tuh."
Mas Danu dengan agak kikuk kembali duduk di kursi tinggi kesayangannya. Setelah beberapa saat mengedarkan pandang, ia jadi mengerti ucapan Chandra barusan.
"Ohh, punya Arga belum abis, ya? Mau dibungkus aja apa?"
Arga. Laki-laki yang sedang duduk mengobrol dengan Mas Danu itu bernama Arga.
"Beneran mau tutup kak?"
Arga nampak baru saja menelan potongan donat pertamanya sebelum akhirnya bertanya.
"Habisin dulu aja, gapapa kok."
"Serius gapapa, kak? Kalau buru-buru tutup, gapapa juga aku bungkus. Tapi mau minta paper box, boleh?"
"Gapapa, sambil lanjut ngobrol sama Mas Danu juga boleh kok."
Arga mengangguk sepakat. Ia merasa mendapat izin dari pemilik kafe untuk tinggal lebih lama dengan donat dan milkshake cokelatnya. Chandra tersenyum samar saat melihat Arga menggigit donatnya perlahan sambil mendengarkan penjelasan Mas Danu yang sedang membahas film horror baru yang sedang tayang di bioskop.
"Kakak, sini duduk juga sama kita."
"Oiya, Mas Andra, sini duduk lah sama kita. Masa yang punya kafe malah berdiri aja."
Chandra menyusul keduanya duduk, lebih tepatnya duduk di sebelah Mas Danu yang kini melanjutkan ceritanya. Chandra memperhatikan keduanya mengobrol, sampai tiba-tiba Mas Danu menarik ponselnya yang berdering dari saku celananya.
"Astaga. Terus ayah sekarang di mana? Ayah gapapa?"
Baik Chandra dan Arga sekarang melihat ke arah Mas Danu dengan wajah cemas. Sepertinya kabar yang diterima Mas Danu tidak begitu baik.
"Iya, iya bu. Aku pulang sekarang. Tunggu bentar ya."
Tut. Mas Danu menutup sambungan teleponnya.
"Kenapa mas?"
"Ini, mas. Ayah saya kepleset di kamar mandi, barusan ibu telepon, kasih tau kalau ayah dibawa ke rumah sakit. Saya boleh izin pulang dulu nggak, mas?"
Urusan keluarga yang jelas tidak bisa ditinggalkan. Tentu saja Chandra tanpa ragu mengizinkan Mas Danu untuk pulang.
"Udah, mas. Pulang aja gapapa, kasihan ibunya Mas Danu kalau sendirian urus ayah, kan?"
"Iya, mas. Saya jadi nggak enak ninggalin Mas Andra sendirian, apalagi mas Raka sama Mas Lian masih di luar kota juga. Maaf ya mas."
Lagi-lagi, Chandra memberi gestur supaya Mas Danu tidak perlu kasihan padanya.
"Ga perlu minta maaf, gapapa mas. Halangan mana ada yang tau, kan? Gapapa, Mas Danu pulang aja."
Setelah meyakinkan Mas Danu bahwa ia akan baik-baik saja jika harus menutup kafe sendiri, akhirnya Mas Danu berpamitan kepada Chandra dan Arga yang masih berpegang pada satu donat terakhirnya.
"Kak, ini gapapa kalau aku habisin dulu?"
"Iya, gapapa kok."
Lalu hening lagi.
Chandra melihat ke arah luar kafe yang sudah sepi. Tanpa sadar, lima dari enam pelanggan yang sempat meramaikan kafe tadi sudah lebih dulu pulang. Di luar, hanya ada mobilnya yang terparkir di sebelah timur pintu masuk. Dan itu membuat Chandra tergerak untuk membuka pembicaraan.
"Kamu ke sini naik apa? Kok gaada kendaraan lain selain mobilku?"
Arga, yang akhirnya menyelesaikan donat terakhirnya, mengangkat wajahnya untuk melihat ke sumber suara.
"Tadi naik grabcar, kak. Biasanya juga gitu."
"Tinggal di mana?"
"Di kos daerah patung Wiraseno."
Chandra tanpa sadar menarik tangannya untuk menjadi penopang dagunya saat mendengar jawaban Arga. Ia tahu betul kalau patung Wiraseno adalah monumen kota yang selalu ia lewati saat berangkat dan pulang dari kafe.
"Satu arah sama aku. Mau aku anter aja? Kalau kamu ga keberatan."
"Oh, iya? Kakak rumahnya di mana?"
"Ngekos sih, belum ada rumah sendiri. Di gang Rajawali belakang kantor pos."
Arga mengangguk paham setelah membayangkan rute dari kos miliknya dengan lokasi kos yang disebut Chandra barusan.
"Iya juga kita satu arah. Dan lewat daerah kosku juga. Tapi apa ga ngerepotin kakak?"
"Nope. At all. Anggap aja bonus service buat salah satu pelanggan setia kafe ini."
Arga tersenyum malu mengetahui fakta bahwa ia diingat oleh pemilik kafe kesukaannya ini. Walaupun selama ini hanya mengobrol dengan Mas Danu, tapi ternyata hal itu tidak membuatnya tidak terlihat oleh Chandra yang sebelum ini hanya ingat wajahnya, tanpa namanya.
"Makasih ya kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)
FanfictionBook ini adalah kumpulan narasi dari on-going au yang aku post di twitter https://twitter.com/chxcolada/status/1655037090596536320?t=Vb_IlVdlSpnVTZ0iPN3a3Q&s=19