“Mas Chan?”
Chandra terlihat sedang menyengir saat Arga memanggilnya. Menyadari hal itu, ia buru-buru meletakkan ponselnya di sebelah botol air mineral yang ada di atas tikar, lalu mengambil kembali sendok yang sempat ia anggurkan di mangkuknya yang masih terisi setengah porsi bubur ayam yang sudah diaduk. Chandra tidak menjawab, tapi membalas sapaan tadi dengan mengangkat kedua alisnya sambil sedikit mendongakkan wajahnya pada Arga.
“Chat sama siapa sih, mas? Kayanya asik banget.”
“Sama Mas Lian.”
Chandra kembali melahap buburnya, sedangkan Arga yang sudah menghabiskan porsi miliknya sekarang duduk bersila menghadap Chandra dengan sebelah tangan menopang wajahnya. Arga hanya membulatkan kedua belah bibirnya seperti meniru bentuk huruf ‘O’ tanpa berniat meminta jawaban lebih lanjut.
“Mama titip salam buat adek.”
“For real, mas?”
“Iya.”
Sekali lagi, Chandra melahap satu sendok penuh buburnya, membuat Arga memperhatikannya dengan wajah gemas sambil menunggu lanjutan dari jawaban Chandra sebelumnya.
“Mas Lian tadi bilang, katanya mama baru sampai Solo tapi udah kangen sama mas Lian, sama adek juga.”
Apa yang Chandra katakan barusan benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Ia sengaja tidak mengatakan apa yang persis dikatakan Mas Lian, bahwa mama merindukan dua anak mantunya. Arga sendiri tersenyum mendengar menuturan Chandra barusan. Senyumnya tulus, seperti benar-benar bersyukur dengan apa yang ia dengar, merasa bahwa dirinya benar-benar diterima oleh ibu dari laki-laki yang ia temani sekarang.
“Adek juga udah kangen sama mamanya mas Chan.”
Chandra menelan suapan bubur terakhirnya saat Arga tanpa sadar menyebut dirinya sendiri dengan ‘adek’. Sebutan yang berhasil membuat Chandra hampir tersedak dan membuatnya batuk beberapa kali, lalu mendapat simpati dari yang lebih muda hingga mendapat tepukan di punggungnya.
“Pelan-pelan aja ih, mas.”
Chandra hanya mengangguk dengan sesekali terbatuk, tangannya memberi gestur seolah dirinya sudah baik-baik saja.
“Mas cuma kaget.”
“Kaget kenapa?”
Chandra menggeleng. Ia merasa tidak seharusnya ia terkejut bahkan merasa sedikit panik saat Arga menyebut dirinya sendiri dengan ‘adek’. Tanpa aba-aba. Terlebih lagi, di ruang publik seperti ini.
“Gak, kok. Lupain aja.”
Setelah susah payah mengatur napas, Chandra menutup pembicaraan pagi itu dengan jawaban yang membuat Arga menatapnya bingung. Wajahnya lucu, kalau Chandra boleh jujur. Rambut Arga yang sudah lebih panjang dari saat pertama kali Chandra bertemu dengannya, mengembang seperti permen kapas yang lembut, tapi sedikit berantakan karena beberapa kali diterpa angin pagi yang melintas. Kepalanya yang kembali bertopang dagu dengan kedua alis bertaut, kedua mata dengan tatapan yang sedikit menyiratkan rasa kantuk, serta kerutan samar di dahinya membuat Chandra gemas. Tapi, lagi-lagi berada di ruang publik seperti ini membuatnya sedikit takut untuk berbagi perhatian pada yang lebih muda.
“Pulang sekarang?”
Ucap Chandra menawarkan, disambut Arga yang mengangguk mengiyakan.
Perjalanan kembali mereka dipenuhi dengan percakapan ringan antara keduanya. Arga bercerita bahwa dirinya sekarang sudah menjadi penyiar radio dengan programnya sendiri, bahkan Arga diberikan kebebasan untuk menunjuk partnernya sendiri untuk menemaninya siaran.
“Jadi adek sekarang udah ga siaran pagi lagi?”
“Masih kok, mas. Tapi cuma hari Sabtu sama Minggu aja. Siaran rutinnya dari hari Senin sampai Jumat, jam tujuh sampai jam setengah sepuluh malam.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)
FanfictionBook ini adalah kumpulan narasi dari on-going au yang aku post di twitter https://twitter.com/chxcolada/status/1655037090596536320?t=Vb_IlVdlSpnVTZ0iPN3a3Q&s=19