Jam sepuluh lebih dua belas menit, begitu yang tertera saat Arga melirik angka pada layar ponselnya. Arga masih dalam perjalanannya pulang, masih duduk di dalam mobil dengan ditemani suara penyiar radio lokal yang membacakan perkembangan kota bulan itu, walau setelahnya berganti dengan lagu jazz yang terdengar asing di telinganya. Chandra tentu sedang menyetir di sebelahnya, fokusnya tertuju pada jalan gelap dan licin pasca hujan yang akhirnya berhenti beberapa menit lalu. Beberapa kali Chandra bertanya pada Arga, apakah ia bosan dan ingin mengganti siaran radio dengan yang lain, atau mungkin ia mengantuk dan ingin tidur sebentar jadi Chandra akan memelankan laju mobilnya, atau mungkin juga Arga ingin berhenti di minimarket untuk membeli sesuatu. Tapi jawabannya selalu 'Ngga kok, mas. Begini aja, ngga apa-apa', seperti Arga tidak sekalipun dilanda bosan atau kantuk. Chandra membawa Arga berkeliling kota sampai Arga sendiri yang memintanya untuk pulang. Bukan karena bosan atau lelah, tapi karena ia merasa kasihan dengan Chandra yang sudah seharian penuh menemaninya, belum lagi harus menyetir dari rumah sampai kembali lagi ke rumah.
"Kira-kira Mama udah tidur apa belum ya, mas?"
"Mama pasti udah tidur. Biasanya Mama tidur jam sembilan, cuma kemarin bisa sampai jam sebelas karena masih ada saudara yang gak pulang-pulang."
Dan benar saja.
Mobil mereka baru saja melewati gerbang yang dibuka oleh Pak Amar. Satu fakta baru untuk Arga karena ternyata Pak Amar bukan hanya bekerja sebagai supir, tapi juga salah seorang pekerja di rumah Chandra yang diberi kamar khusus sendiri. Kata Chandra, hanya beberapa saja yang diberi fasilitas itu sebagai balas jasa mereka yang sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun.
Kali ini Arga masuk ke dalam lewat garasi yang terhubung langsung dengan pintu masuk timur, yang jika dibuka dari sisi luar akan terlihat ruang baca milik Ayah dan pintu kamar Chandra lengkap dengan akuarium besar kesayangan Ayah. Arga terlihat penuh kemenangan saat tahu bahwa ia tidak harus melewati lorong antik yang terlihat seperti lokasi syuting film horror ketika hari sudah gelap.
Semua lampu besar sudah dimatikan, hanya tersisa lampu-lampu serupa obor kecil yang memberi warna di ujung-ujung ruangan. Arga pikir, walaupun tidak harus melewati lorong antik itu, tapi jika kondisinya begini sih sama saja seramnya.
"Rumah mas Chan emang selalu serem begini ya kalau udah malem?"
Arga yang baru saja melingkarkan tangannya pada tangan Chandra spontan bertanya, tak peduli jika Chandra mengiranya takut. Walau faktanya memang iya.
"Adek takut?"
"Gimana adek ngga takut, mas? Rumahnya mas Chan tuh luas, banyak barang antiknya, terus lampunya remang-remang. Apalagi di lorong yang ada lukisan di depan cerminnya.."
Chandra tertawa. Memang tidak salah yang diucap Arga barusan, banyak barang antik dan serba-serbi kejawen yang sengaja tetap dipertahankan walaupun Ayah sudah tidak ada. Kata Mama, supaya masih terasa kehadiran Ayah di rumah. Dan atas alasan itu, Chandra terima.
Setelah melewati satu pintu kayu besar yang asing untuknya, Arga akhirnya bisa melihat pintu kamar Chandra di ujung lorong pendek yang berhias lampu kecil dengan nyala remang.
"Adek mandi, abis itu istirahat, ya?"
Arga mengangguk, tangannya masih belum lepas dari yang lebih tua di sebelahnya, padahal mereka sudah sampai di depan kamarnya.
"Mm, mas?"
Dengan sedikit mendongak, wajah Arga tetap terlihat menggemaskan walaupun hanya terpapar remang nyala lampu. Kedua manik indahnya membulat seperti ingin meminta sesuatu.
"Iya, adek. Adeknya mas mau apa, hm?"
"Mau tidur di kamar mas, boleh?"
"Boleh, boleh banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)
Fiksi PenggemarBook ini adalah kumpulan narasi dari on-going au yang aku post di twitter https://twitter.com/chxcolada/status/1655037090596536320?t=Vb_IlVdlSpnVTZ0iPN3a3Q&s=19