Dua hari. Terhitung dua hari sejak terakhir kali Arga bertukar pesan dengan laki-laki yang menyewanya sebagai pacar, dan selama itu juga Arga merutuki dirinya yang kelewat ceroboh.
"Bodoh. Harusnya aku ngga boleh kalah di aturan yang aku bikin sendiri. Bodoh, Arga bodoh."
Begitu kira-kira rangkuman dari ucapan kekesalan pada dirinya sendiri selama dua hari ini.
"Mas Chandra juga kenapa baik banget sih? Kenapa apa-apa harus izin dulu? Kenapa dikit-dikit harus tanya aku? Kenapa harus perhatian banget? Ah sebel!"
Kali ini Arga mengomel sambil melihat ke arah cermin, sedang memilah atasan yang akan ia kenakan untuk bertemu ibu dari laki-laki yang menjadi sumber rutukannya selama ini. Arga menyempatkan diri untuk melihat ke arah jam, ternyata waktunya terbuang banyak hanya untuk menumpahkan rasa kesalnya. Tangannya masih menimang beberapa pakaian yang sudah lolos seleksi warna, dan setelah ia perhatikan satu per satu, ia menarik satu yang berwarna merah marun dengan tangan kanannya.
"Mamanya mas Chan suka ngga ya, kalau aku pakai ini?"
Eh. Sebentar.
"Kenapa aku harus mikir pendapat mamanya Mas Chan?"
Arga buru-buru meralat ucapannya, lalu segera mengganti pakaian yang ia pilih barusan sebelum ia berubah pikiran lagi.
Sekarang sudah jam sepuluh kurang lima menit. Arga sudah berdiri menyandarkan tubuhnya pada pagar tinggi kosnya, menunggu Chandra yang sudah berjanji untuk menjemputnya; janj dadakan yang baru jam tujuh pagi tadi disetujui oleh keduanya.
Kali ini, Arga sengaja memakai masker. Ia merasa sedang tidak sanggup jika harus memakai topeng cerianya pada Chandra selama di perjalanan, walaupun sebenarnya Arga berniat untuk membuka maskernya saat sudah bertemu mama.
Jam sepuluh lebih dua menit, sebuah mobil berhenti tepat di depannya, yang tanpa Arga harus lihat pun sudah ia ketahui siapa pemiliknya.
"Adek nunggu lama, ya?"
Suara Chandra menyapanya. Suara yang sudah dua hari tidak ia dengar.
"Ngga kok mas, paling baru lima menitan. Aku naik, ya?"
Arga segera masuk mobil dan memasang sabuk pengamannya tanpa mengucap apapun. Tapi bukannya segera berangkat, Chandra justru masih diam belum juga menginjak gas. Arga yang keheranan lalu memberanikan diri untuk bertanya. Tapi belum sempat Arga membuka mulut, Chandra mendahuluinya bicara.
"Adek apa kabar?"
Chandra bertanya tanpa melihat Arga, kedua matanya masih tertuju pada jalan sepi di depan mereka.
"Adek gapapa kan? Selama kita ga kontakan?"
"Aku baik-baik aja kok, mas. Kemarin sempat repot, tapi sekarang udah normal lagi."
Tentu saja semua yang diucap Arga adalah bohong. Lalu tanpa curiga, Chandra mengiyakan jawaban Arga dan memulai perjalanan menuju kafe.
"Adek gugup mau ketemu mama?"
'Lebih ke gugup karena kamu tanyain kabar sih, mas.' Arga membatin.
"Lumayan, I guess? Mama udah nunggu lama di kafe kah, mas? Jam 10 bukannya jam buka kafe ya?"
"Iya, jam buka kafe. Mama bilang baru aja sampai kafe bareng mas Raka. Adek tumben pakai masker?"
Chandra melirik Arga, membuat keduanya tanpa sengaja menatap satu sama lain karena Arga langsung menoleh ke arah Chandra setelah yang lebih tua bertanya. Arga menelan ludah sebelum menjawab.
"Tadi ada orang ngerokok di depan kos, aku ga suka sama asap rokoknya. Jadi aku pakai masker."
Begitu bunyi kebohongan jilid dua Arga hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)
FanfictionBook ini adalah kumpulan narasi dari on-going au yang aku post di twitter https://twitter.com/chxcolada/status/1655037090596536320?t=Vb_IlVdlSpnVTZ0iPN3a3Q&s=19