92. Mama dan Ayah

457 67 5
                                    

Tirai renda. Nakas kayu mahoni. Lemari kayu jati. Dan cermin dengan bingkai kayu penuh ukiran yang menjadi benda kesukaan Arga di kamarnya. Arga sudah mulai terbiasa disambut para penghuni kamar sementaranya itu di hari keduanya menginap. Di depan cermin, Arga kembali memeriksa penampilannya dari atas sampai bawah. Bukan apa-apa, tapi Arga merasa harus terlihat menawan hari ini. Ada tempat yang harus ia kunjungi, dan hari ini adalah yang pertama kali.

"Adek?"

Itu suara Chandra dari balik pintu, diikuti setelahnya dua kali ketukan nyaring sebelum namanya kembali dipanggil.

"Adek? Mas boleh masuk?"

Tapi Arga sengaja tidak menjawab. Ia raih ponselnya dari atas nakas untuk ia masukkan ke dalam saku celananya sebelum membuka pintu kamar, sedikit terlonjak karena tidak mengira Chandra akan sedekat itu dengan pintunya.

Di sana, Chandra berdiri tegap dengan sebelah tangan terangkat, berniat kembali mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka. Wajahnya datar, tapi perlahan senyum itu terulas di sana, hanya dalam hitungan detik setelah kedua pasang mata itu saling menatap.

"Cantik banget, mau ke mana?"

Chandra dan segala rayuannya, untung Arga sudah terbiasa.

"Kan mau diajak Mas Chan ketemu Ayah?"

"Gak mau diajak jalan-jalan sama mas?"

"Mau. Tapi mau ketemu sama Ayah dulu.."

Bagaimana Chandra tidak semakin sayang jika dari sekian banyak tawaran yang sudah ia berikan pada Arga, laki-laki yang lebih muda itu memilih untuk lebih dulu bertemu Ayah dibanding berkelana di seputaran kota kelahirannya?

"Mas siapin mobil dulu, ya? Adek tunggu di depan."

Arga mengangguk semangat sebelum memberi kecupan di dekat ujung bibir Chandra, lalu meninggalkan pemilik rumah itu mematung sesaat, masih di depan kamarnya.

Lorong rumah itu masih sama menakutkannya untuk Arga lewati sendirian. Estetik memang, tapi lukisan wayang besar dengan pahatan kayu di sana-sininya yang digantung berseberangan dengan cermin tua membuatnya merasa diperhatikan walau ia tahu tidak ada orang selain dirinya di sana. Beruntung matahari saat itu sudah tinggi tanpa terhalang awan, membuat lorong itu menjadi sedikit lebih terang dibanding saat pertama kali ia datang. Biar begitu, Arga tetap berjalan cepat melewati ruangan sepanjang hampir enam meter itu, sampai akhirnya disambut ruang utama yang menjadi tempat resepsi kecil semalam yang sumber terangnya berasal dari pintu utama, kedua daunnya membentang ke dalam.

"Eh? Adek, mau ke mana?"

Arga lagi-lagi disambut suara dari pemilik rumah. Kali ini Mama yang menyapanya, sedang duduk di kursi teras rumah dengan memangku buku gambar berukuran A4 yang tebalnya hampir dua senti menurutnya. Dan tentu saja, Arga menyempatkan diri untuk mendekat.

"Adek mau diajak Mas Chan ketemu Ayah, Ma."

"Ketemu Ayah?"

Arga menjawab pertanyaan Mama dengan anggukan, membuat wanita yang duduk di sebelahnya itu menurunkan pensil gambarnya, menghentikan kegiatannya.

Mama memutar tubuhnya untuk bisa melihat ke arah laki-laki manis di sebelahnya. Mama perhatikan bagaimana rambut Arga yang sudah memanjang tergerai bebas sampai hampir menyentuh kerah bajunya. Tidak luput setelahnya kemeja abu-abu yang kontras dengan warna kulitnya, lalu kembali naik untuk melihat wajah Arga yang selalu menggemaskan untuk Mama. Di sana, Mama menemukan sesuatu yang pernah ada pada Mas Lian sebelum resmi dipinang putra sulungnya.

Mama melihat ada perhatian besar yang tersirat di sana, di dalam manik cokelat Arga yang semakin membulat. Seolah mengulang kejadian tiga tahun sebelumnya, Mama letakkan satu tangan di atas punggung tangan laki-laki pilihan anaknya untuk Mama usap dan berakhir dengan saling menggenggam.

Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang