110. Dua Minggu

553 64 4
                                    

Bukan hilang, tapi Chandra sudah dibuat terbiasa dengan mimpi buruk yang ia terima. Semua mimpinya berawal dari satu waktu yang sama, pada malam dirinya dan Arga bertengkar di dalam mobil tepat sebelum pulang dari kota kelahirannya; di mana Arga akan membalasnya penuh amarah, lalu keluar dari mobil dengan membanting pintunya keras, dan berakhir dengan dirinya yang tetap berlari menyusul Arga biarpun Chandra tahu itu adalah bagian dari mimpinya yang terus berulang.

Sudah dua minggu ini alarm ponselnya menjadi tidak berguna. Chanda terus saja bangun terlambat, bahkan abang bubur langganannya sempat bertanya-tanya ke mana salah satu pelanggan setianya itu pergi sampai tidak lagi berkunjung ke tempatnya. Arga pun sama. Beberapa kali ia menelepon masnya itu dan disambut dengan suara berat khas bangun tidur karena pesan paginya yang tak kunjung mendapat balasan.

Bukan Arga marah, ia hanya.. cemas. Bukan hanya cemas tentang Chandra yang semakin sulit untuk ditemui di luar jam kerja, tapi juga bagaimana Chandra selalu terlihat lelah setiap kali Arga mengunjunginya. Chandra pun semakin jelas menahan diri untuk tidak melakukan kontak fisik dengannya, dan Arga tidak suka.

"Mas yakin nggak apa-apa?"

Chandra mengunyah makan siangnya pelan, tatapannya seperti tidak berminat dengan apa yang ia santap. Arga duduk di sebelahnya, di kursi penumpang depan, bersandar mendekat dengan kepala hampir menyentuh bahu yang lebih tua. Chandra dengar pertanyaannya, tapi ia hanya tersenyum mengiyakan sambil menyuap nasi dan potongan ayam teriyaki yang Arga buat sendiri di dapur kosnya.

"Mas nggak suka ya?"

Pertanyaan lain muncul saat ia menelan suapan terakhir, bersamaan pula dengan sepasang kekasih berjalan melewati Arga dan Chandra yang baru menghabiskan makan siang mereka di dalam mobil.

"Maksud adek?"

"Bekalnya."

Arga mengambil kotak bekal yang baru saja Chandra tutup rapat, wajahnya sedikit ditekuk karena merasa tetap kurang diperhatikan walaupun sudah hanya berdua.

"Suka, kok. Kalau mas gak suka, mana mungkin mas makan sampai habis. Iya, kan?"

"Siapa tau mas sungkan karena adek temenin makan?"

Arga menutup rapat tas bekalnya, lalu melirik Chandra seolah tanpa minat seperti yang Chandra lakukan sebelumnya. Harapannya, Chandra tidak lihat. Tapi ternyata Chandra sudah lebih dulu menoleh bahkan sejak Arga menarik kotak bekal makan dari tangannya.

"Adek?"

Singkat, tapi itu cukup untuk membuat Arga luluh lagi hanya dengan sekali dengar. Harusnya ia bisa bersikap biasa saja. Sudah dua minggu ini Arga dibuat terbiasa harus berjarak dengan yang lebih tua. Bukan tak berminat untuk mencecar, tapi Arga ingat dengan nasihat yang Mama sampaikan saat ia menginap; bahwa terkadang Chandra hanya butuh waktu untuk sadar akan kesalahannya, untuk menyelesaikan masalahnya, jadi Arga berniat memberi waktu selama yang Chandra butuhkan untuk berdamai dengan dirinya. Tapi sudah dua minggu terhitung sejak mereka kembali dari rumah, sudah dua minggu pula Chandra berubah tanpa ada tanda sudah berdamai dengah apapun masalahnya, masih terus menjawab baik-baik saja padahal Arga lihat sendiri bukan begitu keadaannya.

"Adek kenapa? Moodnya lagi jelek? Iya?"

"Mas Chan tuh yang kenapa."

Nada bicaranya meninggi tanpa Arga sadar. Bahkan jika diingat lagi, terlepas dari pertengkaran mereka yang meledak kemarin, baru sekali ini Arga bicara begitu pada Chandra yang kedua alisnyanya hampir bertaut karena tidak percaya dengan yang barusan ia dengar.

"Mas sadar, nggak? Kalau sejak pulang dari Solo, mas berubah?"

Chandra tentu sadar, tapi ia memilih diam.

Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang