87. Solo: Day 1 - Manisan dan Makan Malam

590 68 7
                                    

Lima lebih dua belas menit, begitu yang ditunjuk oleh jam tangan Arga. Ia duduk bersandar bahu Chandra di kursi penumpang tengah, sedang dalam perjalanan kembali ke rumah setelah menerima ajakan sesi foto 'keluarga' dari Mas Abi. Sudah lebih dari satu dekade tradisi itu terlaksana, tradisi foto yang awalnya dikenalkan oleh ayah Chandra sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Betul, tradisi foto tahunan bersama itu khusus untuk Chandra, Mas Raka, dan anak-anak dari saudara kandung Ayah Chandra sebagai generasi kelima trah Abimanyu. Abigail Abimanyu yang akrab dipanggil Mas Abi, adalah anak tunggal dari kakak pertama Ayah. Mas Abi terkenal paling modis di antara semuanya. Walaupun menjadi yang paling mungil, tapi Mas Abi adalah yang paling disegani. Selain Mas Abi, Mas Raka, dan Chandra, anggota wajib terakhir tradisi tahunan ini adalah Mas Hega yang paling nyentrik, yang kebetulan juga anak tunggal dari kakak kedua Ayah, sama seperti Mas Abi.

Mobil Ibu membelah jalan raya Slamet Riyadi untuk kedua kalinya hari ini. Mas Raka menjadi yang bertanggung jawab membawa pulang rombongan kecilnya kali ini, setelah sepakat untuk menggantikan Chandra yang sudah mengantar siang tadi. Mas Lian yang duduk di depan sesekali menoleh ke belakang untuk menawarkan beberapa cemilan yang selalu Arga terima karena sungkan menolak.

"Mau biskuit?"

Lagi, Mas Lian menawarkan. Mas Lian mengulurkan satu bungkus kecil biskuit coklat yang mau tak mau Arga terima lagi, tapi kali ini ia bagi.

"Mas, mau?"

Sambil sedikit mendongak, Arga mengambil satu keping biskuit untuk ia arahkan tepat di depan bibir Chandra, menunggu laki-laki yang ia jadikan sandaran itu untuk menerima suapan darinya. Chandra tentu menerima, ia buka mulutnya cukup lebar untuk melahap biskuitnya, yang mana saat sebelum mulutnya kembali mengatup, kedua belah bibirnya menyentuh ujung jari Arga tanpa sengaja.

"Manis."

"Biskuitnya manis? Mas suka?"

Bukannya langsung menjawab, Chandra justru mendekatkan wajahnya pada Arga, lalu dengan sengaja ia berbisik tepat di sebelah telinga Arga yang masih mendongak menatapnya.

"Jarinya adek. Manis."

Memang hanya bisikan, tapi wajah Arga memerah dibuatnya. Arga bahkan menarik tubuhnya menjauh dari Chandra, membuat gerakan tiba-tiba yang bahkan membuat Mas Lian kembali menoleh untuk memeriksa keadaan di belakangnya.

"Kalian nggak apa-apa, kan? Nggak lagi ngapa-ngapain, kan?"

"Eh? Ngga kok, mas."

Mas Lian hanya mengangguk, lalu tanpa sedikitpun menaruh curiga ia kembali memutar badan untuk mengobrol dengan Mas Raka. Beberapa kali setelahnya Chandra mendapat penolakan dari Arga saat mencoba membuat si manis kembali bersandar padanya, walaupun pada akhirnya Arga sendiri yang memutuskan untuk menutup jarak di antara lengan mereka.

"Adek udah ga salting?"

"Mas Chan mending diem."

"Padahal emang manis."

Arga tidak menjawab. Bukan tidak mau, tapi tidak sanggup. Salah-salah nanti ia bisa membuat penasaran dua orang di depan mereka. Jadi Arga pilih untuk diam sampai setidaknya kembali ke kamarnya, atau kamar yang lebih tua, untuk 'membalas' rayuan yang harusnya terucap saat berdua saja.

"Loh. Kok udah rame, yang?"

Pertanyaan itu spontan terucap saat mendapati beberapa sepeda motor terparkir di halaman rumah Chandra. Langit belum sepenuhnya gelap, dan acara makan malam sebagai resepsi kecil-kecilan yang disanggupi sendiri oleh Mama baru akan dimulai jam tujuh nanti.

"Paling itu kendaraan orang kateringnya Mama, yang. Masa pakdhe budhe ke sini mau motoran? Kan kejauhan."

Mas Lian mengangguk, merasa jawaban suaminya tadi cukup masuk akal untuk tidak memperpanjang rasa penasarannya.

Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang