106. Sebelum Pulang

486 49 1
                                    

Remang nyala lampu lorong itu biasanya akan membuat Arga bergidik takut, belum lagi saat harus melewati lukisan wayang besar yang digantung berseberangan dengan cermin tua yang menjadi titik perhatian utama bagi siapapun yang lewat di sana. Tapi pagi itu berbeda. Ketimbang harus merasa takut dengan lukisan dan cermin tua, Arga lebih takut jika harus meninggalkan Chandra sendirian di kamar terlalu lama. Arga melewati dua pusaka lorong itu dengan tenang, sampai akhirnya tersambut empat pilar kayu jati penyangga utama ruang tamu, ruang yang menjadi akses utama ke segala penjuru rumah. Pintu utamanya belum di buka, dari terawangan tirai renda di sebelah pintu pun baru menunjukkan pohon-pohon mangga yang masih terlihat sebagai siluet gelap di luar rumah. Arga berbelok menuju dapur berteman cahaya kuning dari bohlam transparan di setiap sudut sampai bertemu dengan cahaya putih yang sudah pasti berasal dari dapur. Ada seseorang di sana, sedang berdiri di depan kulkas yang sayangnya terhalang pintu kulkas yang terbuka. Arga diam di tempat, belum berani bergerak karena takut akan membuat terkejut siapapun yang akan melihatnya. Sampai akhirnya pintu kulkasnya kembali ditutup dan memperlihatkan siapa yang menemaninya di dapur.

"Adek? Udah bangun?"

Suara Mama lembut menyapa telinga Arga. Mama berdiri di depan kulkas sambil memegang sekantong cabai dan beberapa wortel pada masing-masing tangan. Arga masih di sana, berdiri beberapa langkah dari ambang pintu dapur, sedang ragu dengan pilihan apa ia harus masuk atau kembali ke kamar. Tapi Mama baru saja menyapanya, apakah sopan jika Arga membalik badan tanpa membalas sapa dan justru pergi tanpa kata?

"..iya, ma."

Suaranya masih cukup berat, khas orang yang baru bangun tidur, walaupun sudah ia gunakan untuk mengobrol sebentar dengan Chandra. Mama sedikitpun belum menaruh curiga dengan Arga yang masih mematung di sana, tanpa bertanya lagi Mama letakkan bahan masaknya di dekat wastafel, lalu mencuci tangan sebelum menghampiri Arga yang akhirnya memberanikan diri untuk mendekat.

"Adek mau cari apa? Adek laper? Atau adek haus? Mau minum?"

Mama tersenyum pada awalnya. Tapi semakin Mama mendekat, semakin senyum itu pudar dan berganti dengan wajah khawatir yang Arga harap tidak pernah ia lihat.

"Adek, kok matanya bengkak?"

Rupanya rambutnya yang cukup panjang sekarang ini belum bisa menutupi wajah. Mama menarik lengan Arga pelan supaya Arga melihat ke arahnya, dan Arga menurut setelah meletakkan gelas kaca yang baru saja ia ambil ke atas meja. Arga berusaha mengulas senyum, tapi ternyata usahanya itu justru membuat mata cokelatnya semakin menyipit karena terhimpit kelopak yang belum reda bengkaknya.

Kedua tangan Mama naik sampai bisa menangkup wajah yang lebih tinggi itu dan membawanya mendekat, membuat pemiliknya secara sukarela menunduk dan bersiap menerima pertanyaan yang tidak mungkin dielakkan.

"Adek abis nangis?"

Arga membalas dengan berbagai jawaban; mulai dari kekehan pelan, lalu mengatakan bahwa semua sudah baik sekarang, juga alasannya ke dapur sepagi ini untuk apa. Tapi Mama tidak bisa dikecoh dengan usahanya yang bertingkah seolah baik-baik saja.

"Gara-gara mas, ya?"

Percuma juga mengelak, jadi dengan berat hati Arga menjawab dengan anggukan, baru setelahnya Mama melepas tangan dari wajah yang masih kental dengan kantuk itu pelan-pelan. Chandra pernah bilang kalau ia dan Mama tidak punya kemiripan fisik walaupun sedarah, tapi sepertinya Chandra salah. Mama menatap Arga dengan mata yang sama gelapnya dengan Chandra, persis seperti bagaimana Chandra melakukannya setelah meminta maaf. Sama gelap dan sama dalamnya, dan itu membuat Arga ingin buru-buru menyudahinya.

"Tapi sekarang udah ngga apa-apa kok, ma. Ini juga adek ambil minumnya buat mas. Mas Chan jangan dimarahin ya, ma?"

"Masmu udah minta maaf?"

Pacar Sewaan on Twitter by @chxcolada (Woohwan AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang