Hilang

33.3K 1.4K 6
                                    

Sore itu sinar sang mentari yang berwarna oranye tampak menghiasi langit kota yang berwarna kelabu.
Langit tampak cerah, dan burung-burung pun berterbangan untuk pulang ke sarangnya masing-masing.

Namun disaat langit yang sedang menampakkan keindahannya di tengah cakrawala itu, Fin malah tidak sempat menikmatinya. Ia masih terduduk lemas di ujung kamar mandi yang dingin itu.

Fin tersentak kaget karena suara pintu yang terbuka secara tiba-tiba. Sesosok Adi pun muncul dari balik pintu, dan menatap Fin yang masih mengatur nafasnya di ujung ruangan karena rasa terkejutnya.

"Bangun!"

Hanya kata-kata itulah yang Adi katakan pada Fin yang sedikit bergetar ketakutan.
Fin pun mencoba bangun dari duduknya, namun badannya yang lemas membuat tubuhnya terasa jauh lebih berat dari biasanya.
Adi pun membantu Fin berdiri dengan satu kali tarikan pada lengan Fin. Namun ternyata hal itu malah membuat Fin merintih kesakitan.

Adi hanya terdiam melihat anak itu berdiri dengan tidak sempurna. Tubuh kecil itu seakan-akan sedang menahan rasa sakit di salah satu bagian tubuhnya, sehingga membuatnya tak bisa berdiri dengan tegak untuk saat ini. Adi pun tak mau ambil pusing, dan segera berjalan ke arah ruang tengah dan diikuti oleh Fin dibelakangnya. Saat sudah sampai di ruang tengah, ia terdiam melihat Fin yang masih berjalan terseok-seok di pinggir kolam renang. Rasa kasihan sedikit menyerangnya, namun ia menepis semua rasa bersalah itu. Saat Fin sampai di ruang tengah, Adi memberikan tatapan mengintimidasi pada Fin, dari ujung rambut hingga ujung kakinya.

"Duduk disitu!"

Fin pun mengikuti arah mata Adi, yang melihat ke arah ujung ruangan.
Fin hanya bisa menuruti perintah ayahnya untuk duduk di atas karpet di pojok ruang tengah yang megah itu.

Adi pun berjalan ke dapur, dan mengambil sebuah mangkuk kecil berisi bubur bayi instant yang sudah ia seduh begitu ia sampai di rumah, dan segera memberikan mangkuk itu kepada Fin.

"Sebaiknya kamu makan ini!"

Fin sedikit terkejut oleh kebaikan ayahnya yang ia pikir sudah sirna. Fin pun segera menerima mangkuk kecil itu, dan menyendokkan isinya perlahan menuju mulut kecilnya.

Adi menarik kursi dari pinggir meja makan, dan duduk persis di depan Fin yang sedang melahap bubur bayi itu takut-takut. Ditatapnya tubuh Fin dari atas hingga ke bawah. Pandangan Adi terhenti di pipi kiri Fin yang sedikit bengkak dan terdapat warna kebiruan disana.

Bagi Adi, hal itu cukup pantas Fin dapatkan setelah mengkhianatinya dan memenjarakan dirinya dengan rencana liciknya. Pandangan Adi kembali turun, dan terhenti di pergelangan tangan Fin yang sedang menyendok bubur bayinya. Terdapat bekas lecet yang menggores kulit pergelangan tangannya, dan juga warna kebiruan yang cukup serius.

Adi kembali memperhatikan wajah Fin yang masih tertunduk sambil tetap mengunyah bubur bayinya yang lembut.

Setelah buburnya habis, Adi pun memberikan sebuah tanktop dan celana pendek berbahan katun pada Fin, dan kembali menyuruh Fin untuk segera kembali ke kamar mandi yang gelap itu lagi. Dengan langkah yang terseok-seok pun, Fin kembali ke kamar mandi yang dingin itu lagi untuk menuruti perintah ayahnya. Saat sampai di kamar mandi, Fin pun segera mengganti bajunya, dan kembali duduk di lantai pojok kamar mandi tanpa perlu disuruh lagi.

Adi pun sempat tertegun melihat betapa Fin sangat menurutinya. Namun ia segera menepis semua rasa yang mulai kembali pada dirinya. Adi mengambil seutas tali yang sudah ia siapkan di luar kamar mandi itu, dan kembali mengikat tangan Fin dengan ikatan yang lebih kendur.

Tak puas sampai disitu, ia pun juga mengikat kedua kaki Fin dengan ikatan yang cukup kencang. Adi menatap mata yang seolah memohon untuk dikasihani itu.

Tak akan lagi....

Ada kasih sayang untukmu Fin....

My Lovely dadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang