Kontak

32.3K 1.2K 4
                                    


Entah sudah berapa lama ia duduk di samping tubuh yang menjadi panas karena demam itu.
Dan selama itulah ia menatap punggung yang kini sudah terbalut perban dengan cukup rapih.

Dan Adi adalah orang yang membalut punggung yang penuh luka itu dengan perban kain, yang baru saja ia beli.

Dulu Adi memang pernah belajar tentang pertolongan pertama saat ia bersekolah di sekolah militer.
Namun kemudian, ia mengambil jurusan ekonomi saat sudah masuk kuliah.
Jurusan yang sama dengan jurusan yang Fin ambil satu tahun yang lalu.

"Bangun..!"

Fin tersentak kaget mendengar kata-kata ayahnya yang tiba-tiba itu.

Ia pun segera bangun walaupun dengan susah payah. Jantungnya terasa masih berdebar dengan sangat keras karena rasa terkejutnya.
Sekarang ini, dirinya tidak ingin ayahnya kehabisan keasabaran lagi dan mulai menyiksanya lagi.

Fin pun memposisikan dirinya untuk terduduk di atas karpet merah itu.
Fin dapat merasakan angin yang dingin menerpa perut dan dadanya.

Ia pun segera menyadari, bahwa ia hanya mengenakan celana pendek berbahan katun saja. Tanpa apapun yang menutupi tubuh bagian atasnya.

Cepat-cepat digunakannya kedua telapak tangannya untuk menutupi dadanya.

Adi yang melihat hal itu pun langsung melemparkan sebuah kaos putih tanpa lengan pada Fin.
Ia memang sengaja memberikan tanktop itu, agar tubuh itu tetap kedinginan.

Kejam memang.

Tapi itulah Adi.

Ia masih belum bisa memaafkan Fin atas segala hal yang sudah dilakukannya.

Fin pun segera memakai tanktop itu, karena rasa dingin yang menyerang seluruh tubuhnya.

Suara gemuruh diluar ruangan segera disadari oleh Fin.
Dari dinding kaca itu, ia dapat melihat dengan jelas, bahwa di luar sana tampak hujan turun dengan deras sekali.
Akhir-akhir ini hujan memang sering turun.
Namun hujan kali ini terasa lebih dingin baginya.
Atau mungkin itu karena tubuhnya yang sedang terkena demam.

Adi berjongkok di depan tubuh yang gemetaran itu.
Menatap tubuh yang tampak pucat, dengan mata yang merah dan bengkak karena terlalu banyak menangis.
Fin menggosok-gosok lengannya dengan telapak tangannya untuk mengurangi rasa dingin yang membuat tubuhnya tak bisa berhenti bergetar.
Adi merasakan rasa yang aneh sedang menghinggapi dirinya.

Rasa Kasihan...

Adi ingat sekali...

Sebelum ia masuk penjara, setiap hujan yang deras datang pada malam hari, anak satu-satunya itu akan datang ke kamarnya, dan minta untuk dipeluk di dalam tidurnya.
Dan di saat itulah, Adi merasa begitu menyayangi Fin.
Menyayangi anak perempuan satu-satunya itu.

Kini, ditatapnya mata merah itu dalam-dalam.
Mata yang merah dan berair itu tampak begitu menyedihkan.
Menatap seolah-olah meminta untuk dikasihani.

Tidak ada suara yang keluar dari bibir keduanya.

Mereka hanya sebatas berkontak dengan mata.

Mencari jawaban dengan menilik langsung ke kedalaman hati.

Tapi Adi sudah terlanjur membentengi hatinya dengan tembok es.
Dan Adi yakin, bahwa tembok itu tidak akan mudah diluluhkan oleh sembarang orang.

Adi pun segera memutuskan kontak mata itu dengan segera berdiri dan berjalan ke arah dapur.

Fin merasa hatinya semakin terluka, saat ia tidak menemukan sedikit pun belas kasihan pada bola mata ayahnya.
Mata abu-abu itu tampak dingin dan kelam.
Tidak sehangat dahulu...
Saat ia masih menjadi anak satu-satunya....

"Minum ini.."

Adi memberikan segelas susu putih full cream pada Fin.
Fin terdiam melihat segelas susu putih yang masih berada di tangan ayahnya itu.

Bukankah papa sangat membenciku?

Lalu kenapa sekarang ia memberikanku minum?

Apakah papa sudah memaafkanku?

"Kenapa..?"

Suara itu terdengar serak dan sangat lemah. Seperti ia sudah tidak minum selama berhari-hari.
Adi tersenyum miring pada anak polos itu.

Kamu mau tahu kenapa?

Itu karena hari ini, adalah hari terakhir kamu bisa menelan...

My Lovely dadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang