01. Kuasa Tertinggi

161 25 0
                                    

Puluhan staf yang didominasi para chef dengan seragam serba putih tiba-tiba berkumpul di sebuah ruangan, bersama seorang pria yang memiliki kuasa tertinggi di sana. Siapa lagi kalau bukan atasanku, si Pria Tantrum alias Sabit.

Tertera mencolok warna pakaiannya yang kini telah berganti dari atasan putih polos menjadi hitam pekat, serta name tag emas mengkilap yang terbuat dari bahan logam. Pria Tantrum menjadi bukti nyata stereotip serta hierarki di antara para staf lain yang sudah biasa tanpa perlu disadari.

Agar lebih konkrit, terbubuh nama lengkap Pria Tantrum beserta posisinya sebagai Executive Chef. Ia telah mengemban jabatan tersebut selama hampir 10 tahun terakhir. Berloyalitas di sebuah restoran yang bisa dibilang tak seramai dahulu kala. Dia begitu mencintai pekerjaannya tanpa terpikir lagi ingin melakukan hal lain. Dia bukan orang sembarangan, yang amat kusegani selama 3 bulan terakhir.

"Siapa kali ini yang mau bicara duluan atas keributan barusan?" tanyanya dengan nada bicara yang datar.

Sembari melakukan gerakan biasanya—bersedekap, tersorot tak sengaja kondisi kulit bersih pria berusia kepala 3 itu akibat kain lengan yang tergulung rapi hingga siku.

Informasi tambahan, terdapat satu garis bekas luka di lengan kirinya yang tak dapat diketahui apa penyebabnya. Menurut berbagai sumber, ia tak sengaja menggores tangannya sendiri ketika sedang aktif memainkan pisau saat memilah daging sapi mentah beberapa waktu lalu.

Biarpun posisinya tinggi dan menguasai sebagian besar atas ruangan bahkan restoran ini, tak akan menjadi pengaruh bila dia tak begitu pandai menguasai pisau dapur. Ada sisi ketidaksempuranaan yang harus diterima sebagai manusia.

Bisa saja karena dia sudah terlalu lama tidak mencoba bermain-main di dapur. Atau bisa jadi dia terlalu rindu untuk kembali berada di dapur, lalu iseng mencacah seluruh bahan pangan sembari beratraksi dengan pisaunya. Entahlah.

Meski lukanya tak sedalam itu, namun garis kecokelatan sepanjang sepuluh sentimeter itu nampak gamblang bila diperhatikan dari segala arah. Tak mengganggu, hanya saja rasa penasaran itu tetap sekelibat muncul begitu saja.

Bila memang punya nyali untuk bertanya langsung, minimal harus punya pengalaman dengan pernah berdiskusi dekat dengannya. Tak begitu ingat apa makna jabatannya, tapi ada yang menjelaskan kalau istilah itu tak beda jauh dengan sebutan supervisor. Souce Chef? Sous Chef? Mungkin itu sebutannya.

Sikapnya saat ini bisa dibilang masih berbaik hati. Ia rela sabar menunggu dan memberi kesempatan waktu beberapa detik untuk para anak buah agar tidak saling unjuk secara gegabah.

Posisiku saat ini berdiri tegap persis dibalik barisan para laki-laki bertubuh besar tanpa kekar. Seperti membentuk barikade, di belakang mereka adalah kami para perempuan yang turut berbaris secara horizontal dengan tinggi yang tak jauh beda-sebetulnya aku paling mungil di antara mereka semua, posisi paling tengah pula.

Tinggiku kurang dari 160cm, namun berhasil lolos saat uji tinggi badan berkat riwayat pekerjaanku yang dianggap memenuhi kualifikasi soal keterampilan. Bagusnya bila ingin bekerja di sini, ada beberapa pihak yang tak menghiraukan kondisi fisik terutama tinggi badan.

Keterampilanku sendiri sih memang terlihat sepele, tapi menjadi peranan penting yang tak bisa sembarang disepelekan.

Tiba-tiba lengan siku kiriku disenggoli siku lainnya secara non verbal. Senggolan itu membuat responsku terkejut singkat karena tak paham akan maknanya. Aku gak sepeka itu jadi manusia.

Deru napas yang kuhembuskan saat ini mungkin berada di level paling tertinggi, sangat lambat bila dihitung dalam hitungan 10 detik. Mataku tak berani menoleh ke arah perempuan sebelah yang notabene lebih berani untuk terus bergerak berkat posisi kedua tangan kami yang tak berjarak.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang