Aku melepas apron sintetis usai kugunakan selama empat jam, waktunya istirahat. Berjalan menuju ruang ganti dan mengambil bekal makan sore di loker, aku sudah janjian dengan Kak Abas akan pergi makan bersama. Tentu tidak hanya dia seorang saja, ada beberapa teman pramusaji lainnya yang turut serta.
Aku menentengi tas bekalku berbentuk persegi berwarna kuning dan merah muda, sedang Kak Abas membawa kantong kresek hitam tipis yang dengan mudah bisa kutebak isinya, nasi warteg bungkus. Kami terbiasa jalan menuruni tangga menuju ruang bebas untuk beristirahat sambil menumpang makan.
Ruang bebas yang tersedia di dalam resto menjadi satu-satunya tempat ternyaman—kata mereka—sebab dilengkapi fasilitas yang cukup. Di sana terdapat mini pantry dilengkapi kulkas dan dispenser, AC yang sejuk, lima meja makan ditata horizontal beserta kursi, sofa lipat yang bisa dibuka lebar seperti kasur, dan televisi besar di sudut atas ruangan yang jarang dinyalakan. Di dalam Ruang Bebas juga tersedia mushola kecil untuk beribadah.
Siapa tidak betah diberi ruang istirahat yang se-cozy itu? Aku.
Aku tidak betah, sih. Karena hanya bisa menikmatinya dalam durasi satu jam saja, serba terburu-buru. Ruang Bebas adalah tempat peralihan sementara dari pekerjaan yang tak pernah kosong, yang terus terisi dikunjungi staf-staf secara bergantian untuk menggunakannya. Tempat di mana semua orang datang ingin mengisi daya ulang energinya dengan makan dan tidur selama 20-40 menit, sisanya digunakan untuk mengobrol.
Pada kesempatan inilah, aku bisa mengamati siapapun yang belum pernah kutemui di kitchen. Perlahan-lahan aku menghapal wajah mereka meski tak tahu siapa namanya.
"Bekal makan kamu apa hari ini, Rid?" Tanya Kak Abas yang berjalan lebih dulu usai menuruni anak tangga. Berada di lantai basement resto, Ruang Bebas juga terkoneksi langsung dengan akses pintu keluar masuk menuju parkiran. Setiap hari aku melewatinya bila sedang membawa kendaraan roda dua. Hotel Lavienrose juga menyediakan akses jalan khusus pengendara motor yang berada di belakang gedung. Sedangkan bagian depan alias lobi dikhususkan untuk para tamu hotel dan pengunjung resto.
"Coba tebak, Kak!" jawabku semangat, sembari menyamai langkahnya agar tidak ketinggalan.
Aku paling suka kalau Kak Abas menanyakan lauk bekalku. Karena menghasilkan tiga kemungkinan; Satu, dia akan tertarik mencicipi. Dua, dia akan bertanya lebih lanjut bagaimana langkah-langkah membuatnya. Tiga, dia akan request secara personal untuk dibawakan kembali keesokan harinya dan dinikmati sendirian.
Dia tahu aku suka memasak—setidaknya paham dasar-dasar masakan—dan sebagai teman terdekat, hanya dia yang mau aku tumbali untuk mencicipi. Terkadang ia melontarkan komentar-komentar objektif dengan bahasa yang santai. Dia tahu bagaimana cara mengkritik tanpa menyakiti orang lain.
"Mie goreng Aceh instan?" Aku menggeleng, yang disebut Kak Abas tadi adalah menu bekalku jika sedang buru-buru.
"Ah itu..." Dia coba menjentik-jentikkan jarinya, "Oncom pedas?" seraya menunduk ke arahku. Menu kesukaan ibu yang terpaksa aku makan karena setengah hati doyannya.
"Bukaaannn, itu lauk kemarin. Ya kali aku makan itu lagi."
"Haha. Siapa tahu, kan. Terus apa dong?" ia menyerah. Duh, padahal aku sudah sengaja menyediakan dobel porsi. Jika seandainya dia menjawab benar, pasti akan kuberikan sebanyak mungkin.
Langkahku terhenti tepat lima meter menuju pintu depan Ruang Bebas, "Kalau berhasil nebak sekali lagi, lauknya bakal kukasih semua ke kamu, Kak."
Pria itu mengangkat kedua alis, "Jangan bilang..."
"Hahaha." aku buru-buru tertawa duluan sebelum mendengar responsnya.
"Ayam cincang saus bolognese?" tebaknya tanpa ragu, makanan favorit kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traces of Missing Plates
General FictionPiring-piring antik milik Asianfave Resto tiba-tiba hilang dalam lemari berfasilitas keamanan tinggi. Nuridana Dilla, seorang dishwasher yang berkeinginan mati dituntut ganti rugi karena dituduh mencuri tanpa bukti. Merasa tidak bersalah, Rida bersa...