23. Pertaruhan

64 9 9
                                    

Biasakan tekan bintang/vote dulu sebelum membaca. Komen-komen juga ya. Enjoy reading!

***

Usai keributan di Area Dishwasher

"Rida. Pergi ke ruangan saya. Saya mau bicara sama kamu." titah Sabit setelah situasi area dishwasher melengang. Wajah besarnya tampak memerah disertai ekspresi yang mendatar. Pertanda sedang marah. Aku yang masih syok usai berdebat dengan Hafiz harus bersiap-siap diri dihujati Pria Tantrum karena memicu keributan.

Berkali-kali aku menghela napas panjang di depan pintu office. Menyiapkan mental yang sudah dibuat ambruk lebih dulu. Perasaanku gamang. Aku sudah tak sempat menafsirkan kejadian-kejadian apa saja yang terjadi sepuluh menit yang lalu. Setiap detik berjalan, selalu saja muncul masalah baru yang membuatku tak siap menghadapinya.

Kakiku menghentak-hentak lantai pelan, berusaha mengurangi rasa gugup yang tak beraturan. Tak sadar aku juga mengigit kuku ibu jari. Tenggorokanku sudah bosan menelan saliva sampai mulut mengering gersang. Ditambah bulu kudukku merinding sekujur tubuh. Di dekat pintu ruang office, ada tangga menurun ke arah basement. Kalau mau yang lebih gila lagi, mungkin saja aku sudah memilih kabur dan tak usah kembali lagi.

Kecemasan yang kurasakan sebetulnya bukan hanya dipicu dari kericuhan tadi. Melainkan juga nasibku yang sudah berada di ujung tanduk. Aku takut disinggung Sabit soal piring-piring yang belum juga ditemukan siapa pelakunya. Aku pusing sendiri selagi menyusun kata-kata. Merangkai alasan lain apalagi yang bisa aku katakan agar dia tak terus-menerus menyalahkan.

Belum sempat aku mengetuk pintu, tiba-tiba seseorang dari dalam sana menekan tuasnya. Siapa lagi kalau bukan Pria Tantrum, Si Executive Chef yang paling malas kutemui. Aku sempat mengedikkan bahu seraya terkejut, sementara dia hanya memasang wajah datar. Sorot matanya yang kerap dibilang seperti ada galaksi di sana tak nampak bersinar dalam pandangku. Yah, bisa jadi karena pengaruh mood-nya yang sedang jelek.

"Masuk." suruhnya sambil berbalik badan, melepas gagang pintu lalu kuambil alih agar tak menutup otomatis.

Aku mengekori Sabit lalu diarahkan duduk di sofa yang ditata membentuk huruf L. Dalam waktu singkat, pandanganku secara spontan menginvasi seisi ruangan yang jarang kuamati secara detail. Setiap kali datang ke sini, aku biasanya hanya sibuk duduk di kursi sambil bernegosiasi perihal absensi, hari libur dan gaji dengannya. Berkunjung kalau ada butuhnya saja. Saat diinterogasi pun, aku hanya sanggup menundukkan kepala sambil sesekali melirik Sabit, Mr. Sam dan Kak Abas ketika diajak bicara.

Aku baru menyadari kalau di ruangan office ada banyak sekali barang-barang menarik. Di sebelah kiriku ada satu bingkai foto para pegawai resto yang berjejer rapi. Nampaknya mereka pernah mengadakan acara gathering. Aku tak yakin fotonya dipotret kapan, yang jelas bukan tahun ini. Lalu di depan mataku—tepatnya di belakang meja kerja Sabit, terdapat bingkai foto berisi kode etik perusahaan, mungkin sengaja dipasang supaya ruangan ini terkesan lebih formal. Kode etik selalu rutin digaungkan para pegawai sesaat sebelum memulai jam kerja. Persis di sampingnya terdapat foto Sabit beserta para petinggi resto yang disusun seperti bagan.

Di dinding sebelah kananku, terpajang sebuah lukisan klasik yang tak begitu familiar. Bingkainya berukuran besar dan dilapisi cat warna emas. Sedang lukisannya berwarna pudar, kombinasi antara biru langit dan biru tua yang apik dihiasi bintik-bintik putih seperti bekas cipratan. Kemudian gambar besar berwarna cokelat yang bila diperhatikan secara detail, bentuknya mirip seperti kapal-kapal layar jaman dulu. Ada sekitar 12 layar yang dibentangkan, salah satunya ada robekan kecil pada layar paling belakang.

Oh, aku merasa familiar dengan lukisannya. Aku pernah melihatnya di mana ya?

Yang lebih menariknya lagi, di bawah lukisan ada sebuah rak yang nampaknya baru selesai ditata. Rak yang terdiri dari tiga bagian dipenuhi ragam benda permainan seperti 2 rubik, 3 board game—aku sebetulnya tak yakin benar atau tidak, tapi satu diantaranya ada papan catur. Aku mengenalnya dari motif persegi berwarna hitam putih. Mungkin dia mahir memainkannya. Terakhir, dua stick controller yang tergeletak asal di rak nomor tiga. Aku justru terheran dengan benda yang terakhir. Untuk apa dia menyimpannya di ruang kerja?

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang