11. Single Fighter

76 11 5
                                    

Jangan lupa tekan bintangnya dulu, biar gak kelupaan pas udah sampai bawah. Komen-komen juga, ya.
Thank you and happy reading.

***

Acara perilisan menu baru Kak Wafa selesai satu jam kemudian. Aku tengah menunggu kedatangan kereta baki pengangkut piring kotor sambil melamun. Banyak hal yang kupikirkan dalam satu waktu bersamaan. Piring-piring antik, lembur sepanjang hari, pulang malam, sakitnya Kak Abas dan Kak Drian, juga ungkapan Kak Wafa dua hari yang lalu.

Akibat kecerobohanku yang tak sengaja berceletuk asal di depan Kak Wafa, sepertinya aku telah membuat dia jadi salah paham. Setelah makan siang bersama, aku belum sempat memberi penjelasan pada Kak Wafa karena terhalang waktu. Dia sedang menikmati peran profesinya yang tak bisa kuganggu.

Mengenal perasaan dia? Mungkin lebih tepat kalau ajakan itu ia lontarkan pada Okta, yang notabene memang naksir berat pada Kak Wafa.

"Mungkin kamu bisa coba mulai dari aku dulu."

Satu kalimat terakhirnya otomatis mengobrak-abrik pikiranku yang sudah telanjur acakadut, akibat frustrasiku pada Kak Abas. Kalau saja sebelumnya dia menahanku untuk tidak pergi makan siang bersama, sudah pasti ungkapan Kak Wafa tidak akan pernah kudengar.

Belum lagi momen di mana ia menyebut-nyebut namaku beberapa kali. Di depan teman, atasan, dan yang barusan terjadi di acara perilisan menu barunya. Hampir satu restoran yang didatangi tamu undangan mendengarkan Kak Wafa bicara. Mendadak semua staf jadi tahu keberadaanku karenanya. Saat aku kembali ke area dishwasher, sudah sepuluh staf lain yang menyapa dan bertanya sejak kapan aku bisa kenal dekat dengan Kak Wafa. Entah kenapa, aku mulai tak nyaman dengan situasi ini.

"Kayaknya Wafa respect banget sama kamu, Rid. Sampe bolak-balik ngenotis terus dari tadi." ucap Sabit yang hanya berdiri di sebelah kanan, seolah sedang membaca pikiranku.

Ia menemaniku cuci piring sambil bersedekap. Jangan harap dia rela melipat lengan panjang seragamnya untuk sekedar turun tangan, menyentuh spons dipenuhi busa sabun lalu mengusap-usap piring. Mustahil. Bos tetaplah bos, kerjaannya ya cuma suruh-suruh.

"Kalo itu, silakan tanya yang bersangkutan aja, Chef." sahutku enggan berkomentar. Aku tak berhak memvalidasi asumsi Sabit yang mustinya ia katakan sendiri pada Kak Wafa.

Terlalu penasaran, Sabit sampai niat membungkukkan tubuh tegapnya. Menyamakan posisi kepala kami agar setara, lalu menoleh ke arahku dengan jarak kurang dari dua jengkal. "Kalian gak lagi pacaran, kan?"

"Astaga! Chef!" bentakku akibat terlonjak. Hampir saja piring yang sedang kucuci terlepas dari genggaman. Sumpah, aku tak berniat membentak Sabit walau sebenarnya dalam hati bergejolak ingin. Kalau perlu sekalian kusemprotkan sabun cair bening penuh busa ke arah wajahnya sebagai pemanis.

Aku mengatur jeda napas sejenak sebelum lanjut membilas piring. Hampir saja gajiku tiga bulan terancam tak dibayar jika satu piring antik ini bernasib retak dan pecah.

"Kaget banget, Rid? Jadi beneran?" tanyanya memastikan. Aku memasang raut datar. "Nggak, Chef."

"Ah yang bener?" goda ia menyenggoli lenganku. Berani-beraninya? Tolong, nggak usah sok akrab sama orang yang sudah pernah kamu permalukan, Sabit!

"Bener, Chef."

"Jangan sampai pas saya tanya ke Wafa, dia kasih jawaban beda lho."

"Memang gak ada apa-apa kok di antara kami." tegasku.

Mr. Sam tiba-tiba muncul mendatangi kami, "You, Rida. You gak ada teman bantuin? Kenapa kerja sendiri? Kemana perginya semua orang? Sabit!"

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang