04. Sirkel Baru

83 17 0
                                    

Sepuluh menit sudah aku menduduki meja nomor empat di Ruang Bebas. Menikmati istirahat kedua, aku mengacak-acak rambutku yang tergerai usai lelah dicepol berjam-jam. Yang tanpa kusadari ternyata sudah memanjang hingga separuh punggung. Mukaku kian ditekuk lesu menghadapi Hari Sabtu—bosan sekali aku begini terus—yang kian serius. Kuselingi momen ini dengan menyeruputi kopi hitam racikan Kak Abas. Lumayan juga, rasanya, sekaligus yang buat.

"Awas aja nanti tengah malam ngeluh-ngeluh melek, gak bisa tidur gara-gara aslam naik, aku bakal matiin paket data malam ini." ancam sang barista ala-ala, mengantisipasi terjadinya terjangan badai pesan singkatku yang diprediksi akan terjadi.

Sesudah menyesap sampai habis cangkirku, "Ya udah, tolong dimaklumi kalau aku nyepam chat. Pas dinyalain datanya, pasti gak berhenti-henti tuh suara kodoknya." balasku menyinggungi nada dering notifikasi ponsel Kak Abas, membayangkan suara HPnya diberisiki "webek-webek-webek-webek" sampai satu jam.

"Wah, kamu ini. Idenya gak pernah abis kalau gangguin orang." geleng-geleng keheranan.

"Kan gak setiap hari, Kak."

"Tapi tiap kali nge-chat pasti isinya keluhan kamu semua, Rid." timpal Kak Abas yang membuatku tergelak, "Iya, ya? Emang situ sendiri gak begitu juga, Pak???" sarkasku menuduh balik. Berharap dia sempat berkaca dulu sebelum bicara, yang malah disambut cengengesan.

"Aku blokir kamu duluan deh kalo gitu, Rid." sela Kak Drian malah ikut-ikutan memanasi suasana.

"Ih jahat! Awas aja besok nanyain jadwal lagi. Gak akan kutanggepin!"

"Aku bisa nanya ke Kak Abas, lah."

"Eh, Dri! Kamu tuh ya, punya HP kelewat canggih, udah support 5G, bisa zoom in 100 kali, storage setengah tera, tapi nyimpen satu foto jadwal sif yang ukurannya gak sampai lima mega aja kok bisa gak muat memorinya tuh gimana ceritanya? Yang kamu simpan di HPmu tuh sebenarnya apa?" panjang lebar Kak Abas penasaran.

Kak Drian menggaruk-garuk leher tak gatal, "Masa kalian gak paham, sih?" cengirnya malah menimbulkan persepsi lain.

"Nggak, aku gak tahu! Bukan urusanku!" sergahku tegas, tanpa disengaja aku mendeklarasikan bahwa Kak Drian kemungkinan besar menyimpan sesuatu dalam tanda kutip untuk memenuhi kebutuhannya. Ah, topiknya kenapa jadi rated begini?

Sudah kubilang, Kak Drian hanya terlihat alim diawal perkenalan saja. Setelahnya? Ya ini, nih. Pelan-pelan terbongkar sendiri bagaimana kepribadian aslinya. Silakan menilai sendiri, deh.

"Kalau kamu nyimpen yang aneh-aneh, seenggaknya hapus salah satunya, Kak. Casing HP udah ditempeli stiker solawat biar berkah, harusnya bisa dong isinya dikasih ruang buat kerjaan juga." saranku yang mungkin bisa membantu dia untuk taubat serta dihapus dari segala dosa.

"Lho, kamu ngiranya aku nyimpen video bokep gitu, Rid? Cih. Sembarangan!" terus terang Kak Drian berkilah, tak terima dituduh sembari membuang muka.

Refleks aku memundurkan tubuh sedikit, seakan-akan ingin mendeteksi rautnya yang serius. Semoga saja dia tidak berbohong. Yah, lagipula kalaupun bohong juga aku tidak peduli, sih. Perkara itu biar urusan dia sama Tuhan.

Kak Abas melirik wajah memerah pria di sampingnya, "Mana sini coba mau lihat, paling lama durasi berapa jam?"

"KAK!" terkesiap aku dan Kak Drian menyentaknya kompak.

Demi membersihkan nama baik dari tuduhan fitnah yang tak berdasar, aku dan Kak Abas disuguhi isi galeri ponsel Kak Drian yang sudah diambang batas memori internal yang kepenuhan kapasitas. HP yang dinamai jenis Ultra dan baru dicicilnya bulan lalu itu penuh berisi ribuan foto behind the scenes, serta cuplikan video-video manis nan lucu anak kecil yang asyik melakukan kegiatan bermain di sekolah TK.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang