09. Gara-gara Mr. Sam

58 13 0
                                    

Tujuh hari jelang KTT ASEAN, aku dipusingkan dengan ketidakhadiran Levi selama tiga hari berturut-turut. Semenjak ditegur Sabit seminggu lalu, Levi tidak menunjukkan batang hidungnya dengan keterangan yang tidak jelas. Ada yang bilang sakit, ada juga yang bilang izin. Aku menganggapnya dia sakit. Tapi aku tidak percaya sama sekali kalau ternyata dia bakal berbohong padaku.

Dia menikah. Hari ini. Tanpa sepengetahuanku.

Levi memiliki seorang teman seperjuangan yang dikenalnya saat pertama kali masuk bekerja di sini. Perempuan, posisinya sebagai staf gudang. Kemarin aku memang menanyakan kondisi Levi yang barangkali pernah dihubunginya, sebab gadis belum genap berusia 20 tahun itu tidak membalas sama sekali pesan singkatku. Hanya terkirim ceklis satu.

Lalu tadi pagi aku diberitahunya kalau Levi baru saja memperbarui status WA. Sebuah foto yang menampilkan ia mengenakan pakaian kebaya khas adat Sulawesi dengan mahkota di kepala dan serangkaian riasan wajah semacam yang membuatnya tampak pangling. Levi tersenyum menatap pasangannya yang diduga adalah sang pacar yang kini resmi menjadi suami. Keduanya memamerkan buku nikah serta sepasang cincin yang tersemat di jari manis masing-masing. Ekspresi mereka sama-sama tampak mesra dan bahagia.

Kemudian ia membubuhkan sebuah pesan singkat yang kuingat-ingat kurang lebih seperti ini, "Hari bahagiaku bersama kamu. Terima kasih sudah menungguku. Kamulah yang kucari dalam penantianku hingga akhirnya bertemu tuk bersatu. Kaulah belahan jiwaku. Aw. ❤️"

Sepertinya Levi sengaja menyembunyikan atau bisa jadi menghapus kontakku. Status WA-nya tidak muncul sama sekali di ponselku, foto profilnya juga kosong tak terpajang.

"Biarin, Rid. Gak usah ditegur. Ucapin selamat kalau dia udah masuk. Anggap aja kita pura-pura gak tau." kata Kak Abas yang baru saja mencukur rambutnya model undercut. Pipinya sekilas jadi sedikit menirus, garis tulang rahangnya makin menegas.

Baiklah, aku mengaku sudah salah fokus sejak tiga jam lalu kerja sif bersamanya. Aku suka dia hari ini. Kemarin juga. Dua hari lalu suka. Tiga hari lalu juga suka. Seminggu dan bahkan puluhan hari lalu aku suka. Nampaknya rasa sukaku pada Kak Abas kian darurat, alias sudah akut, dan butuh pertolongan untuk cepat disadarkan.

Ditambah spekulasi Okta yang harusnya menebalkan rasa skeptisku, namun malah menumbuhkan sebuah harapan yang lebih besar. Aku tak henti-hentinya mengaminkan setiap perkataan Okta yang menyebut "...kayaknya dia suka", "...kayaknya dia naksir", "...kayaknya dia care" dan kayak-kayaknya lain yang menurutku tidak ada yang salah apabila terkabul.

Kalau aku mudah diperdaya Kak Abas, kayaknya tidak apa-apa. Aku akan terima saja. Toh Okta pun tetap suka Kak Wafa meski dia tahu pria itu tidak cukup pintar memilih soal pergaulan. Lingkup pertemanan Kak Abas semuanya baik-baik—menurut dia. Jadi kemungkinan akan kecil sekali bila Kak Abas betul-betul memperdayakan aku dengan niat yang buruk. Dia memiliki pola pikir yang bagiku cukup dewasa sebagai seorang pria.

"Aku pesimis, Kak. Gak mungkin abis ini Levi tetap lanjut masuk kayak biasa,"

"Dia belum tanda tangan kontrak. ID aja baru kemarin diurus Sabit." imbuhku.

"Hah? Kok bisa-bisanya dia mau kerja gak pake dikontrak?"

"Mungkin sekalian menunggu sang pangeran alias si belahan jiwanya datang, dia rela ngebabu dulu jadi Cinderella di sini." sarkasku menyeringai.

"Ya kalo gitu ngapain kemarin buang-buang waktu buat ngelamar ke sini?" Kak Abas pongah.

Sama, Kak. Sama. Aku juga menyayangkan hal ini. Ngapain Levi rela membuang-buang waktu melamar, ikut tes psikotes, ikut wawancara dan bekerja di sini, kalau pada akhirnya dia hanya seliweran bak iklan satu menit yang kerap muncul di YouTube—maklum bukan pengguna premium, makanya aku hapal. Terhitung belum genap sebulan dia bekerja di sini. Gaji saja tak akan penuh diberi karena status Levi yang masih trainee.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang