22. Dugaan Baru

59 9 12
                                    

Menuju bulan keenam bekerja di AsianFave Resto benar-benar menguras mentalku. Tak menyangka semua permasalahan yang tak terduga bakal menimpaku secara berurutan. Sudah lembur tak dibayar, gaji tak seberapa, dituntut kerja cepat, dituduh mencuri piring, dan sekarang jadi korban pelecehan seksual.

Kalau tahu ujung nasib hidupku begini, mungkin seharusnya aku sudah lebih dulu berada di alam kubur. Mustinya aku langsung saja menuruti keinginan untuk mati sejak dua bulan lalu, tanpa memikirkan hari gajian dan kontrak kerja.

Memperpanjang kontrak sama saja aku menambah-nambah beban hidup. Gajian hanya sekedar menumpang lewat. Bukannya menikmati hasil jerih payah, tapi malah memetik masalah.

Sudah tahu hidupku sedang berada di fase yang tidak jelas. Passion tak punya, cita-cita tak tercapai, masa depanku kian suram. Kepasrahanku sekarang hanya bisa memerangkapku ke dalam jebakan yang lebih berbahaya. Aku merasa tersiksa selama hidup di dunia.

Aku kembali berdiam diri di toilet usai puas menangis selama beberapa menit. Mencuci muka sekaligus bercermin, wajah kelelahan jelas tampak ditandai sekitaran mata yang menghitam seperti panda. Helaan napasku semakin berat, lupa kalau aku belum sempat tidur sejak semalam.

Dalam hati diri ini merasa cemas untuk kembali ke dishwasher. Aku sudah berkali-kali memotivasi diri di depan cermin, berusaha meyakini kalau Kak Abas dan Kak Drian memang bukanlah orang-orang seperti yang dibilang Hafiz. Selain menjadi rekan kerja, kami saling membaur layaknya teman dekat yang telah mengenal satu sama lain.

Aku mempercayai mereka, meski belum sepenuhnya. Selama ini aku tak pernah peduli ataupun ingin tahu, apa yang ada dipikiran mereka tentangku. Mereka juga tak menuntutku untuk menilai dari segi apapun. Semua terasa apa adanya. Dan gara-gara Hafiz, aku jadi terpancing penasaran bagaimana cara mereka memandangku.

"Hafiz dari dulu emang kelakuannya begitu apa gimana sih, Kak? Eh, Rid! Udah selesai?"

Kak Drian menyambutku begitu aku kembali. Kepalaku mengangguk sekali. Diiringi langkah kaki yang sengaja melamban. Sepatuku diseret pelan agar tak terdengar suara gesekan antara sol dan lantai. Kak Abas menoleh singkat selagi merapikan kontainer boks yang telah kosong. Kemudian ia hanya menyuruhku untuk duduk di kursi panjang. Setelahnya ia menceritakan lagi tentang kebiasaan Hafiz yang sudah kudengar dari sebelum pergi ke toilet.

Aku hanya menyaksikan keduanya berbincang-bincang tanpa ada hasrat ingin menimbrung. Mulutku tertutup rapat tak ingin bersuara.

"Jadi Hafiz masuk daftar yang dicurigain nggak nih, Kak?"

"Masuk, Dri. Termasuk Chef Okta."

"Loh, dia juga, Kak? Kakak curigain dia dari mananya?" tanya Kak Drian sekilas melirikku. Posisi kami saat ini saling berpencar. Kak Abas menghadap meja pengering, Kak Drian bermain-main di bak cuci piring sedangkan aku tetap pada posisi di tempat.

Ia mengetuk-ngetuk jari-jarinya di atas meja berbahan stainless steel, "Dari cara mereka berantem tadi, keliatannya dia kayak cuma pura-pura aja." celetuknya asal.

"Mantan pacarnya bukan, sih?"

APA? OKTA MANTAN PACARNYA HAFIZ?

Lirikan mataku seketika menajam ke arah Si Fotografer, "Kak Drian. Jangan ngaco, deh. Kayaknya nggak mungkin sih kalo mereka berdua pernah pacaran." Tiba-tiba saja mulutku terbuka sendiri ingin membantah kilat opininya.

"Yah siapa tahu, Rid." celetuknya asal. "Hafiz pernah pacaran sama Chef Okta terus putus karena Chef Okta ambis ngejar-ngejar Chef Wafa sampai sekarang. Jaman now kan apa-apa diobsesin. Serem. Hiiii bikin merinding!" panjang lebar Kak Drian berspekulasi bagai penulis skenario.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang