Okta tak bicara lagi setelah mendengar pria pujaannya menanyakan keberadaan blazer cokelat tua yang dipinjamkannya di basement malam itu. Aku memang belum sempat bilang hal ini pada Okta, tapi bukan berarti aku berniat diam atau sengaja menyembunyikannya.
Plislah, kami saja baru bertemu lagi sejak terakhir kali di acara launching menu baru Kak Wafa.
Semenjak Chef Pastry keluar dari Ruang Bebas lima menit lalu, mata Okta hanya fokus pada sisa makanannya. Dia marah. Pernah sekali aku melihat bagaimana cara dia marah, yakni dengan cara diam. Akan tetapi, diamnya Okta berbeda dari yang lain. Dorongan menyimpan dendam. Dia ini seorang pendendam.
Sikapnya yang innocent bisa secara tiba-tiba muncul dengan menyusun strategi balas dendam agar rasa marahnya terbalaskan. Yah, kubilang lumayan seram dan sedikit jahat. Ia bahkan bisa jadi manusia tak berperasaan sebelum hasrat dendamnya terpenuhi.
Kalau perasaannya sedang berkecamuk, kadang-kadang Okta memintaku menghindar darinya sementara waktu. Setidaknya sampai kadar emosinya stabil. Dia tak mau hubungan kami terlampiasi amarahnya yang meletup-letup tanpa sebab.
Selain itu, ia amat menjunjung tinggi harga dirinya. Okta tak mau dipandang sebagai sosok yang buruk karena gemar menyimpan perasaan lalu ditumpahkannya di akhir dengan balas dendam. Ketika mulai tenang dan menerima keadaan, barulah dia mau menemuiku lalu bercerita panjang.
Namun kali ini situasinya berbeda, sekarang akulah yang menjadi pemicu amarahnya Okta. Aku tak tahu harus mulai dari mana menjelaskan semua pada Okta. Karena dia tidak memintaku untuk cerita seperti biasanya. Dia juga tidak memarahiku seperti yang kerap dia lakukan ketika sedang meluapkan emosinya.
"Ta, aku mau jelasin soal blazer Kak Wafa, boleh?"
Aku menelan saliva usai berucap sederet kalimat izin yang harusnya dengan mudah terdengar sampai ke telinga Okta. Perasaan tak enak dan rasa bersalahku kian mencuat. Dia tak menjawab, kedua tangannya sibuk mengaduk-aduk sisa nasi yang kuprediksi tersisa dua suapan lagi. Air mineral dalam botol masih tetap utuh belum berkurang.
"Kenapa harus izin, kan itu cerita punya kamu, Rid." sahut Okta.
Menjadi salah satu orang yang terlibat dalam hidup Okta, tentu aku ingin membuat dia selalu senang. Aku berharap bisa dikenang sebagai teman yang meninggalkan kesan baik untuk Okta. Itu sebabnya sebisa mungkin aku berusaha menghindari konflik dengannya. Memastikan kalau dia selalu nyaman berteman denganku. Maka dengan begitu akan tumbuh rasa saling percaya di antara kami.
Dan aku berharap dia masih mempercayainya sampai sekarang.
Tapi kalau gara-gara hal ini membuat persepsi Okta tentangku berubah, aku tak akan berhenti menyalahkan diri. Karena hanya dialah satu-satunya teman akrabku selama bekerja di sini.
Mendadak hawa Ruang Bebas kian dingin, sedingin tatapan Okta yang tampak tak acuh namun menyimpan rasa penasaran. Sementara aku sibuk mengulur waktu sambil menyusun kata dalam pikiran sesederhana mungkin, agar kesalahpahaman ini tak terulang lagi.
Satu hal yang ingin kutegaskan, Tidak ada hubungan yang begitu spesial di antara aku dan Kak Wafa. Kami hanya rekan kerja yang saling membantu satu sama lain secara profesional. Itu saja. Tolong percaya padaku.
"Ta, malam itu dia yang nawarin duluan blazernya buat dipinjam ke aku. Aku nggak sengaja papasan sama Kak Wafa waktu mau jalan ke basement. Tahu kalau aku naik motor, dia inisiatif nyuruh aku bawa blazernya. Tapi nggak kupakai, soalnya aku udah pakai hoodie." panjang lebar aku menjelaskan.
"STOP." pinta Okta menyuruhku berhenti. Satu telapak tangannya diangkat cepat di hadapanku.
"Ah, aku nggak seharusnya begini, Rid." katanya tersenyum miring. "Kenapa aku harus marah sama kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Traces of Missing Plates
General FictionPiring-piring antik milik Asianfave Resto tiba-tiba hilang dalam lemari berfasilitas keamanan tinggi. Nuridana Dilla, seorang dishwasher yang berkeinginan mati dituntut ganti rugi karena dituduh mencuri tanpa bukti. Merasa tidak bersalah, Rida bersa...