06. Rekan Kerja Baru

72 15 2
                                    

Pagi-pagi sekali aku sudah berdiri di dekat area dishwasher. Suasana kitchen masih terasa sepi, tapi tak mempengaruhi perasaanku yang sedang bergembira hari ini. Sudut bibirku terangkat naik kala menyambut dua rekan kerja baruku yang tengah berdiri di sisi kanan dan kiri. Mataku tak berhenti fokus menatap nametag baru yang tersemat apik di sisi kanan seragam mereka. Rasanya seperti mimpi, akhirnya aku tidak mencuci piring sendirian lagi!

Rifat Bhaskara
Dishwasher

Davis Kevandrian
Dishwasher

"Udahan kali ngeliatnya, Rid. Naksir kamu lama-lama sama nametag-ku." ujar Kak Drian yang tengah pasrah. Bahunya justru melorot rendah tak bergairah setelah mendapat posisi barunya.

"'Kenapa gak sekalian aja jadiin kita dishwasher?' Nih, terkabul beneran, kan. Berkat celetukanmu nih, Kak Abas!" lanjut Kak Drian masih mengenang obrolan kami minggu lalu, bernada sarkas ia menyalahi rekan seperjuangannya.

"Yaa mau gimana lagi, Dri. Aku juga kaget. Tahu gitu waktu Rida ke Bali, kita gak usah sok iba ke dia, gak usah sok-sok mau menyelamatkan citra dia, gak usah nurut waktu disuruh Sabit ke sini. Eh ternyata.." sesalnya menggantung, lagipula sudah terlambat bagi Kak Abas untuk menyesali keputusannya.

"Kan aku udah bilang, jangan mau kalau dipindah sama Sabit! Kenapa waktu itu kamu malah setuju, Kak?"

Kak Abas melipatkan kedua tangan di dada, "Dri, lihat bonusnya! Aku baru tahu kalau gaji pokok dishwasher yang di sini, ternyata dapetnya lebih gede daripada waiter. Jaman sekarang, realistis itu wajib."

"Jadi sebenarnya kalian mau dipindah ke sini tuh karena gajinya? Bukan karena kesetiaan kawan di antara kita?" serobotku menampilkan kening yang mengerut.

Kak Drian menyeringai, "Hei, Rida. Nuridana Dilla. Ingat, ya. Tidak ada yang namanya kesetiaan kawan di dunia kerja, adanya kese-tahi-an kawan." secuil nasihatnya cukup menggelitikku.

Belum selesai, "Yang awalnya kawan bisa saja berakhir jadi lawan, yang harusnya temenan malah berujung jadi musuhan,"

"Kalau gak pintar-pintar jaga diri, bisa-bisa kamu yang ketendang!" tukasnya.

Aku mengangguk-angguk paham, "Terus bentar lagi kamu mau nendang aku gitu, Kak?" tebakku.

"Lho jelas, dong. Siap-siap aja kamu, Rid. Haha." ceplosnya gurau.

"Sure, thank you, lho! Tapi sebelum nendang, urusin dulu tuh piring yang mau dikeluarin. Aku mau ambil sabun cair di gudang. Yuk kerja dulu, yuk." satu bundel kertas ceklis kuserahkan pada Kak Drian, yang malah dia serahkan lagi pada Kak Abas.

"Kok dikasihin ke aku sih, Dri? Kan kamu yang disuruh Rida." protesnya.

"Tuh lihat, Rid. Siapa barusan yang udah kutendang?" Kak Drian dan aku tertawa keras melihat rupa jengkel pria yang kini resmi menyandang status mantan pramusaji.

"Woo jian cuk!" umpat lantang Kak Abas selagi aku berjalan meninggalkannya menuju gudang. Sementara Kak Drian mendorongi punggung Kak Abas masuk ke dalam ruang lemari piring.

Akal Ianuarius Sabit cerdik juga rupanya. Dia tak mau berlama-lama menunggu datangnya staf baru jika Kak Abas dan Kak Drian bersedia mengisi posisi dishwasher yang sudah lama dibutuhkan. Terlebih keduanya tak pernah mengeluh—ya mana berani lagian—selama menggantikanku dua hari di area dishwasher. Alhasil kurang dari dua minggu saja mereka mutlak dimutasi per hari ini.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang