10. Dua Tumbang

54 13 5
                                    

Jangan lupa tekan bintangnya dulu, biar gak kelupaan pas udah sampai bawah. Thank you! Happy reading.




Semesta nampaknya sedang tidak mendukungku di hari perilisan menu baru Kak Wafa. Aku dan Kak Abas terpaksa melembur (lagi) setelah ditinggal Kak Drian yang absen datang hari ini. Kemarin ia terpaksa masuk di saat kondisinya baru mengalami demam tinggi. Suhu tubuhnya mencapai 40 derajat celsius. Aku yang khawatir Kak Drian bakal pingsan langsung memaksanya untuk pulang. Masuk kerja tak sampai setengah hari, akhirnya ia pamit usai diberi izin Sabit.

Aku jadi semakin menggantungkan harapan—juga perasaan—pada Kak Abas. Berharap dia tetap bugar setidaknya untuk hari ini saja. Maaf bila terkesan egois, sebab aku sendiri juga tengah berupaya keras menjaga kondisiku.

Padahal bisa saja aku membiarkan fisik tubuhku yang sok kuat ini meremuk dengan sendirinya. Maka dengan begitu aku bisa semakin mempercepat keinginanku untuk segera mati. Tapi aku tidak bisa melakukannya sekarang, karena aku harus kerja. Terlebih hari ini menjadi momen sejarah bagi hidup Kak Wafa. Sebagai sesama pekerja yang mengabdikan diri pada jadwal sif-sifan serta menggantung nasib gaji setiap akhir bulan, aku turut senang atas pencapaiannya.

Acara perilisan menu baru Kak Wafa dimulai pada pukul 13.00 siang. Tentu saja kami para staf yang berada di balik layar wajib melakukan serangkaian persiapan dari beberapa jam sebelumnya. Piring-piring antik akan dikeluarkan dari lemari istimewa selagi menunggu perintah Pria Tantrum. Pagi tadi aku sempat berpapasan dengannya di ruang office, tapi belum ada tanda-tanda dia akan segera muncul di sini.

Setelah kemarin ditinggal izin Kak Drian, wajar bila aku ikut khawatir pada Kak Abas. Sebab aku tak melihat adanya jiwa semangat dari dia sejak masuk pagi tadi. Kadang-kadang Kak Abas lebih dulu datang daripada aku. Biasanya dia selalu sigap membersihkan area sebelum aku datang dan mengecek lemari penyimpanan piring bersama-sama. Aku bahkan sudah rela dan ikhlas kalau semisalnya posisiku sekarang digantikan Kak Abas. Dia pria pekerja keras yang mau melakukan apa saja dan jarang mengeluh.

Tapi untuk hari ini dia hanya sanggup menceklis totalan piring saja, sedang sisanya aku yang mengerjakan.

"Kak? Kamu sehat, kan?" cemasku bertanya.

"Sehat, Rid." yakin Kak Abas mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi lima menit kemudian, dia sudah lekas memijat pelan pelipis bagian kanan. Menyempatkan diri berdiam sejenak, mencengkeram tepian meja hendak menopang tubuhnya yang mulai lunglai tak stabil ketika berdiri.

Aku yang tengah berada di sebelahnya sontak bertanya, "Kak, pusing?"

"Biasa, Rid. Migrainku kumat."

Keningnya mengernyit, diikuti sudut mata serta bibir yang berekspresi tengah merintih dalam diam. Aku memahami kebiasaan Kak Abas yang kerap mengalami sakit kepala sebelah akibat insomnia yang telah lama diderita. Dia pernah mengaku padaku saat menjadi pramusaji. Biasanya di bawah kedua matanya terdapat bekas kerutan menghitam, bukti ia terlalu sering terjaga saat dini hari.

Namun kali ini gejalanya tampak berbeda dari yang biasa kukenali. Napasnya terengah-engah penuh sesak, kakinya yang selalu tegap ketika tiba-tiba diseret lambat. Dia berjalan menghampiri kursi besi hitam yang disediakan dekat ruang lemari piring, lalu duduk melemas di sana.

Sadar kalau Kak Abas sedang tak baik-baik saja, aku yang baru selesai membereskan piring untuk sesi breakfast segera melepas sarung tangan, mencuci tangan bersih, dikeringkan menggunakan hand dryer lalu menyusulnya. Dinding yang disandari punggung Kak Abas mungkin terasa menghangat sekarang. Sesekali ia mendongakkan kepala selagi meregangi otot, yang berdampak pada pemandangan jenjang leher panjangnya.

"Kamu bawa obat gak, Kak?" ia mengoleng.

"Perasaan tadi pas berangkat gak kenapa-napa, Rid. Gak bergadang juga semalam." jawabnya.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang