17. Debat Internal

57 10 4
                                    

Biasakan vote dulu yuk sebelum baca, jangan lupa komennya juga. Enjoy reading!

***

Pukul setengah sepuluh malam seusai resto ditutup, aku, Kak Abas dan Kak Drian masih betah mengenakan seragam di saat para staf lainnya sudah meninggalkan area dapur. Sehabis istirahat aku belum bisa tenang karena tak tahu harus mulai mencari pelaku pencuri dari mana. Otakku serasa buntu sewaktu diajak berpikir. Bagaimana aku bisa membagi waktu untuk mencari sementara tugas cuci piring saja tetap harus kujalani?

Kak Abas dan Kak Drian baru selesai menyimpan seluruh piring ke ruang lemari penyimpanan. Dan benar saja, aku sudah tidak diperbolehkan masuk ke dalam sebelum menemukan siapa pelaku sebenarnya. Oh, bahkan Sabit sengaja mengirimkan utusan dua orang—satu laki-laki dan satu perempuan—dari tim keamanan resto untuk berjaga-jaga di depan area dishwasher.

Kenapa tidak dari dulu saja Pria Tantrum melakukannya? Kenapa harus menunggu ada kejadian dulu baru ditindak? Telat.

Tentu saja aku kurang nyaman dengan keberadaan mereka. Setiap aku berjalan kesana kemari selalu diamati dan diawasi, mata mereka seolah enggan melepas sorotan ke arahku. Padahal aku sedang mencuci piring biasa, cuma menuang sabun, menyalakan dan mematikan keran, mengelap piring sampai kering. Apa salah?

Semua piring antik yang masih ada sudah diamankan dan diganti kode aksesnya. Aku sudah tak bisa lagi mengakses lemari istimewa selain Sabit.

Kalau boleh aku evaluasi bosku sendiri, seharusnya dia introspeksi diri di saat ada kejadian besar begini. Sebab Sabit sendiri pernah lalai tak mengikuti SOP resto. Masih teringat kejadian di mana aku hanya bekerja sendiri saat hari perilisan menu baru Kak Wafa. Sabit hanya bolak balik mengawasi, tak berniat membantu apalagi menungguku sampai waktu sif kami selesai. Sayang, aku yang hanya sebatas bawahannya tak berani menegur. Sifat dia yang selalu temperamen ketika sedang padat pekerjaan bikin aku ikutan tambah stres melihatnya.

"Gara-gara piring doang sampe sebegininya, anjir kacau banget." celetuk Kak Drian yang baru keluar dari dalam ruangan. Disusul Kak Abas yang kali ini diberi amanah memegang kunci.

"Piring doang katamu. Piring antik itu, Dri." sungut Kak Abas.

"HAH? JADI YANG HILANG ITU PIRING ANTIK?" teriak kejut Kak Drian tak menyangka. Suaranya tiba-tiba menggema terdengar mungkin sampai ke seluruh area dapur. Aku yang terkesiap gara-gara dia jadi ikut menjelaskan, "Kalau cuma piring biasa, nggak mungkin aku sampai disuruh nyari siapa yang nyolong, Kak. Yah, paling ujung-ujungnya diomelin habis-habisan sama Sabit."

Wajar saja dia terkejut, salah kami yang tidak memberitahunya sejak awal. Kak Abas juga baru tahu saat ia diajak masuk ke ruang office tadi siang bersamaku.

Reaksinya? Ya kaget. Tapi tidak sekaget Kak Drian yang sampai tak sengaja tersandung kakinya sendiri saat menghampiriku. Cerobohnya kumat, untung saja daya keseimbangannya cukup kuat. Secepat kilat ia memegang ujung meja sebagai penahan tubuhnya. Lalu kembali berdiri dengan gayanya yang sok cool, berpura-pura tak terjadi apa-apa.

"Kupikir dia udah tahu dari orang-orang, Kak." timpalku lirih.

"Sama. Pantesan diajak ngobrol masih lemot." Kak Abas geleng-geleng kepala.

Pria yang berusia jeda setahun denganku malah tambah protes, "Ya kalian kenapa baru kasih tahu aku sekarang?!"

"Mana sempat, Dri. Rida aja udah keburu pusing duluan waktu dikasih tahu Sabit. Kamunya juga udah kebelet pengen pulang mulu dari tadi. Kalau udah kukasih tahu begini, masih pengen pulang cepet-cepet?"

Kak Drian mencebikkan bibir, "Ya elah. Lagian mau piring antik kek, mau nggak, kek. Emangnya tuh piring harga berapa sih satuannya? Kalau murah mah, mending aku gantiin deh sini."

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang