Pencahayaan area restoran sebagian telah menggelap, tersisa lampu temaram yang selalu menyala di beberapa titik seperti penanda pintu keluar darurat. Suasananya lekas sepi, tidak ada lagi aktivitas rutin yang dijalani selain para satpam keliling melakukan tugas harian. Usai keluar dari ruang ganti dan merekam absensi pulang—tepat 22.01—supaya lebih afdol—, aku bergegas menuju ke sebuah studio yang berada di dekat Ruang Bebas.
Bukan studio foto, bukan juga studio musik, apalagi studio laboratorium, melainkan studio kitchen. Tempat di mana Kak Wafa akan menunjukkan keahliannya berkreasi menu baru. Tadi pagi aku diberitahu untuk segera datang ke sini begitu selesai closing. Sedikit gugup, aku berupaya berani mengetuk pintu besi yang terasa berat sekali sewaktu didorong. Pintu yang tidak dalam keadaan dikunci itu memiliki ketebalan beberapa senti. Berhasil dibuka, sorot cahaya muncul dari dalam ruangan.
Studio kitchen yang baru pertama kali kupijaki ini memiliki kapasitas ruang tak terlalu besar. Bisa dibilang dapur versi mini yang hanya disediakan satu kitchen set saja. Aku sedikit menginvasi ruangan yang dipenuhi cahaya lampu-lampu gantung, berlantai marmer, dinding berlapis cat putih, serta banyaknya peralatan berbahan aluminium tertata rapi sesuai posisi. Kemudian suara laki-laki menggema jelas di telinga, yang mengarahkan pandanganku pada sumbernya.
"Takaran satu banding lima nih lebih bagus kalau dibuat mini size... Eh, Rida, akhirnya udah datang." Kak Wafa menyambutku saat ia sibuk memberi arahan pada asistennya. Tidak ketinggalan senyuman hangat yang selalu ia tonjolkan di setiap kali bertemu.
Aku yang masih berdiri di ujung pintu refleks melambaikan tangan, seperti yang dilakukannya tadi pagi, "Aku telat ya, Kak?" tanyaku segera mendekat.
"Nggak, kok. Masih prepare." Aku mengangguk, lalu melirik wanita di sampingnya. Mengenakan pakaian blus kuning pucat dilapisi apron putih, surai yang masih berbentuk cepol rapi serta tahi lalat yang nampak kecil di ujung mata, ia terlihat manis selagi diperkenalkan Kak Wafa.
"Kenalin ini Chef Asyilla, panggilannya Acil, dia ini asisten satu." lambaian tangan kecil Asyilla kubalas serupa ketika menyapa. "Nah kalo asisten dua belum ke sini. Dia ke mana sih, Cil?"
"Masih ganti baju mungkin, Chef." ujar Asyilla.
"Tuh, kan? Kamu gak telat, Rid." sunggingan bibirnya terangkat sempurna. "Kita tunggu asisten satu lagi, abis itu baru kita mulai." tukasnya.
Aku diminta duduk di sebuah kursi kayu berkaki tinggi, tubuhku otomatis menghadap pada kitchen set. Sekilas mirip dengan acara kontes masak Masterchef yang dulu pernah kusaksikan di televisi. Aku bagaikan seorang juri yang sibuk mengawasi puluhan peserta dari berbagai gender. Sepintas terbayang di kepala bagaimana peserta sedang kalang kabut menjalani tantangan memasak sesuai instruksi dan durasi yang ditentukan juri.
Realitanya, hanya ada tiga orang profesional yang sedang menakar beberapa bahan secara cepat dan tepat. Tidak ada tepung yang berceceran di meja, seluruh bahan terisi sesuai pada tempatnya-telur di mangkuk kecil, gula dan mentega di mangkuk sedang, semua yang dilakukan tim pastry tampak rapi, praktis dan higienis.
Di tanganku ada satu bundel tipis berupa proposal—aku menyebutnya demikian—dengan tampilan judul menu pastry pada kavernya. Aroma kertas tebal dibubuhi tinta printer tercium begitu saja, bisa kutebak kalau proposalnya baru dicetak beberapa menit yang lalu. Selagi menunggu Kak Wafa membuka sesi, aku melihat-lihat isiannya yang terkonsep cukup baik.
Mulai dari filosofi nama-nama pastry yang diusung, referensi menu, bahan-bahan yang akan digunakan, lalu langkah-langkah membuat sampai tiba pada halaman terakhir, profil penggagas yang menampilkan foto Wafa Wikrama serta Asyilla dan Louis, dua asistennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Traces of Missing Plates
General FictionPiring-piring antik milik Asianfave Resto tiba-tiba hilang dalam lemari berfasilitas keamanan tinggi. Nuridana Dilla, seorang dishwasher yang berkeinginan mati dituntut ganti rugi karena dituduh mencuri tanpa bukti. Merasa tidak bersalah, Rida bersa...